Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi term yang popular
dikalangan intelektual muslim, di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Di
Amerika tema ini merupakan suatu symbol dari sebuah keinginan besar untuk memberikan
corak keIslaman pada berbagai disiplin Ilmu.
Gagasan Islamisasi ilmu ini melahirkan banyak tanggapan yang beragam dari kalangan intelektual Islam, banyak yang mendukung dengan berbagai alasan tetapi tidak sedikit yang juga menyikapinya secara kritis atau bahkan menolak dengan argumentasi yang bermacam-macam.
Gagasan Islamisasi ilmu ini melahirkan banyak tanggapan yang beragam dari kalangan intelektual Islam, banyak yang mendukung dengan berbagai alasan tetapi tidak sedikit yang juga menyikapinya secara kritis atau bahkan menolak dengan argumentasi yang bermacam-macam.
PENGERTIAN
Para tokoh
yang bergelut dalam gagasan ini memiliki pengertian sendiri tentang istilah
ini, sesuai dengan latar belakang maupun keahlian masing-masing. Menurut S.H. Nasr,
Islamisasi ilmu lebih merupakan suatu upaya untuk menerjemahkan pengetahuan
modern kedalam bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat muslim dimana mereka
tinggal dalam artian Islamisasi tersebut lebih merupakan suatu usah untuk
mempertemukan cara berfikir dan bertindak masyarakat Barat dan Muslim.
Sejalan
dengan hal diatas Hanna D.B, seorang pakar psikologi dari Universitas
Indonesia, Jakarta, mengartikan Islamisasi ilmu lebih kepada suatu upaya untuk
menghubungkan kembali antara ilmu pengetahuan dan agama. Sedangkan Naqib Alatas
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Islamisasi ilmu disini adalah upaya
untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi, dan prinsip-prinsip
sekuler sehingga membentuk ilmu pengetahuan yang baru yang sesuai dengan fitrah
Islam. Berbeda dengan Nasr, Islamisasi ilmu baginya lebih kepada perubahan
ontologism dan epistemologis[1].
Berbeda
dengan al Faruqi yang mengartikan bahwa Islamisasi ilmu adalah mengIslamkan
disiplin-disiplin ilmu atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan di
perguruan tinggi dengan menuangkannya kembali disiplin-disiplin ilmu modern
dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua system
pengetahuan, Islam dan Barat. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas
tentang yang dimaksud dengan istilah Islamisasi ilmu disini adalah suatu upaya
untuk membangun paradigma keilmuan baik pada aspek ontologism, epistemologis
atau aksiologisnya dengan dilandasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran agama Islam.
SEJARAH
Upaya
untuk melakukan Islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber, pertama kali diangkat
oleh Sayyed Husein Nashr dalam beberapa karyanya yang ditulisnya sekitar tahun
1960-an. Saat itu Nashr mengatakan dan mencoba untuk membandingkan antara
metodelogi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam,
matematika, dan metafisika. Baginya apa yang dimaksud dengan ilmu dalam Islam
tidak ada bedanya dengan ‘scientia’ dalam istilah latin, yang membedakan
keduanya hanyalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu keIslaman tidak hanya
memakai metodelogi rasional dan cenderung positivistic, melainkan menerapkan
beberapa metodelogi lainnya seperti tekstual (Bayani) maupun intuitif,
tergantung pada objek yang sedang dikaji.
Beberapa
tahun kemudian gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek
Islamisasi ilmu oleh Muhammad Naquib Alatas, tahun 1977, yang kemudian
dikembangkan dan disempurnakannya pada tahun 1978 yang terus ia geluti hingga
tahun 1980. baginya Islamisasi ilmu tidak hanya dengan mempertemukan keduanya
melainkan perlu adanya rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karna dari
sisi inilah keilmuan lahir. Adapun cara untuk merubah cara pandang Barat yang
sekuler adalah denganapa yang disebut Islamisasi bahasa sebab semua bermula
dari pikiran dan perubahan pikiran pararel dengan perubahan bahasa[2].
Gagasan
Islamisasi ilmu ini ternyata mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para
intelektual muslim dunia. Oleh karna itulah pada tahun 1977 diadakan konferensi
internasional pertama tentang Islamisasi ilmu ini di Swiss, untuk membahas
lebih lanjut tentang ide Islamisasi tersebut. Konferensi ini dihadiri oleh 30
partisan yang secara bersama-sama berupaya menyelusuri penyebab terjadinya
krisis dikalangan umat Islam dan bagaimana cara mengatasinya. Adapun solusi
yang disepakati ketika itu adalah mencari pendekatan secara sistematis dan
mencari metodelogi yang tepat untuk membangun system pengetahuan Islam yang
mandiri sebagai fondasi peradaban Islam. Konferensi yang pertama ini ternyata
memberikan pengaruh yang cukup besar bagi para ilmuan muslim dunia. Di Amerika
gerakan Islamisasi ilmu tersebut disambut hangat yang kemudian dipelopori oleh
Ismail Raji al Faruqi, sehingga didirikanlah sebuah perguruan tinggi IIIT
(International Institute of Islamic Tough) pada tahun 1981 di Washington D.C.
Perguruan tinggi ini bertujuan untuk meningkatkan pandangan
Islam yang Universal dalam mengkaji dan memperjelas permasalahan global dalam
Islam, kedua berusaha untuk mengembalikan kembali jati diri intelektual dan
cultural umat Islam lewat usaha Islamisasi ilmu, kemanusiaan dan sosial, dan
meneliti serta memahami secara mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam
yang kemudian berupaya untuk pencarian solusinya, ketiga, mengembangkan
pendekatan yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer bagi cita-cita Islam dan
manusia, keempat menghidupkan pemikiran Islam dan mengembangkan metodeloginya
dan berupaya untuk menghubungkannya dengan tujuan syariah, kelima, mengadakan
penelitian langsung dalam bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu untuk
memproduksi buku-buku teks yang menjelaskan visi dan misi serta meletakan dasar
bagi disiplin ilmu-ilmu Islam dan tentang kemanusiaan, keenam, mengembangkan
SDM yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut[3].
Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1983, diadakan
kembali konferensi ketiga di Islamabad, Pakistan untuk menindak lanjuti
konferensi pertama. Konferensi kedua ini mempunyai dua tujuan : pertama.
Mengekspos hasil-hasil konferensi pertama serta rumusan-rumusan yang telah
dihasilkan oleh IIIT tentang cara mengatasi krisis dikalangan umat. Kedua.
Mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut, serta
mencari penyebab maupun gejalanya[4].
Menurut IIIT, factor yang menyebabkan terjadinya krisis
pemikiran yang berkepanjangan dikalangan umat Islam adalah :
a.
serangan dari Budaya Barat, terutama pada ilmu-ilmu sosial dan humanoria
yang dikembangkan atas dasar ontologis yang sekuler yang tidak mengakui wahyu
sebagai salah satu sumber keilmuan.
b.
Adanya jarak atau pemisah antara seorang intelektual muslim dengan
khazanah Islam sendiri, kerna pada umumnya mereka lebih banyak mengadopsi serta
meniru secara buta pola pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada
literature tradisional Islam yang sangat berharga.
Setelah konferensi II menyusul konfrensi III yang diadakan
pada tahun 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia yang diseponsori kantor Mentri Olah
Raga dan Budaya Malaysia. Konferensi ini bertujuan untuk mengembangkan rencana
reformasi landasan berfikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik
kepada metodelogi dan prioritas masa depan dan mengembangkan skema Islamisasi
masing-masing disiplin ilmu. Oleh karna itulah makalah-makalah yang disajikan
meliputi disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, antropologhi, ilmu
politik, hubungan internasional dan filsafat yang dikupas secara kritis dan
dievaluasi manfaatnya untuk kesejahteraan umat manusia yang kemudian diberi
saran-saran untuk proyek Islamisasi[5].
Tiga tahun setelah konferensi ke III diadakan kembali
Konferensi ke IV tepatnya pada tahun 1987 di Khortum, Sudan. Konferensi yang
bertemakan metodelogi pemikiran Islam dalam Islamisasi ilmu-ilmu etika dan pendidikan.
Tema ini membahas tentang persoalan metodelogi yang merupakan tantangan dan
hambatan utama bagi terlaksananya program Islamisai ilmu ini, sebaba beberapa
pakar muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat ternyata tidak mampu untuk
menyajikan evaluasi dan kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu mereka sendiri
sehingga mereka kurang siap untuk memberikan kontribusi positif bagi pemikiran
dibidang etika dan pendidikan[6].
Islamisasi (Pemikiran Naquib Al Attas)
Gagasan
Naquib tentang Islamisasi bahasa pada dasarnya hanya merupakan suatu respon
intelektualnya atas efek ilmu modern (Barat) yang ia nilai negatif yang semakin
banyak dirasakan oleh masyarakat dunia, yang merupakan akibat dari krisis dalam
ilmu modern, yakni tentang konsepsi realitas yang merembet pada persoalan
epistemologis, seperti sumber ilmu pengetahuan, hubungan antara idea dan
realitas, tentang kebenaran, permasalahan bahasa dll, yang umumnya menyangkut
persoalan tentang pengetahuan.
Naquib
memandang bahwa pandangan dunia Barat bersifat dualistik yang merupakan akibat
dari peleburan histories dari berbagai kebudayaan dan nilai-nilai yang
terhimpun dalam peradaban Barat. Yakni peleburan dari berbagai peradaban,
nilai, filsafat dan aspirasi Yunani, Romawi kuno dan perpaduannya dengan ajaran
Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat Latin,
Jermania, Keltik serta Nordik yang pada akhirnya juga dirasuki oleh semangat
rasional dan ilmiah Islam, yang kemudian dibentuk dan dipolakan sesuai dengan
kebudayaan Barat, ia di padukan dan dilebur dengan segala unsur yang ada di
Barat yang pada akhirnya membentuk watak peradaban Barat secara tak
langsung[7].
Sumber dan Metode Pengetahuan
Naquib
menyatakan bahwa baginya pengetahuan datang dari Tuhan yang kemudian
ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga sebenarnya
pengetahuan yang dimiliki oleh manusia adalah tafsiran dari pengetahuan dari
Tuhan. Dengan pernyataan ini maka pengetahuan menurut Naquib adalah masuknya makna
sesuatu dari Tuhan ke dalam jiwa manusia, atau dengan kata lain pengetahuan
adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu objek pengetahuan[8]. Dengan
pandangannya ini maka bagi Naquib objek dari pengetahuan bukanlah tentang
ada-nya melainkan makna dari ada-nya atau makna dari realitas objek artinya
subjek atau manusianya lebih memiliki peranan dan menentukan apa yang ada pada
objek, makna objek itu sendiri ada dalam presepsi manusia bukan dalam diri
objek itu sendiri.
Untuk
menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna dari objek
pengetahuan, manusia harus menggunakan fakultas-fakultas yang dimilikinya yakni
dengan indra yang sehat, akal sehat dan intuitif. Indera sehat disini mengacu
kepada pengamatan dan presepsi lima indera lahir yakni perasa tubuh, pencium,
perasa lidah, penglihatan, pendengaran yang keseluruhannya berfungsi untuk
mempresepsi hal-hal particular di alam lahir. Terkait tentang panca indera
lahir ini tedapat lima indera batin yang secara batiniyah mempresepsi citra-citra
indrawi dan maknanya, menyatukan ataupun memilahkan, mangkonsepsi gagasan
tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan serta melakukan interaksi
terhadapnya.
Kelima
indera batin tersebut adalah indera umum, representasi, estimasi, pengingat
kembali dan imajenasi. Tentang hal ini yang dipresepsi adalah rupa (form) dari
objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau indrawi, bukan realitas itu
sendiri. Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang
di abstraksikan oleh indera, yang dalam hal ini Naquib mengistilahkannya dengan
rupa (form), yang bukan merupakan realitas yang sesungguhnya dalam dirinya
sendiri yang disebut dengan makna. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek
indrawo adalah bahwa rupa merupakan apa yang pertama kali dipresepsi oleh
indera lahir baru setelah itu oleh indera batin sedangkan makna adalah apa yang
di presepsi indera batin dari objek indrawi tanpa terlebih dahulu dipresepsi
oleh indera lahir.
Mengenai
akal sehat yang dimaksud oleh Naquib disini adalah substansi ruhaniyah yang
melekat dalam organ ruhaniyah pemahaman yang di sebut dengan hati yang menjadi
wadah bagi terjadinya intuisi. Adapun mengenai intuisi itu sendiri adalah
pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi
Tuhan yang terus mengarah kepada yang lebih sempurna (kebenaran yang lebih
tinggi), yang dalam tingkat tersebut tidaklah semua orang dapat memilikinya
akan tetapi hanya orang yang telah menjalani hidupnya dengan mengalami kebenaran
agama melalui praktek pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas. Intuisi ini datang
kepada orang yang dengan pencapaian intelektualnya telah mengalami hakikat
keesaan Tuhan. Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan terus menerus
hakikat realitas, yang selama perenungan tersebut dan dengan kehendak-Nya, kesadaran akan dirinya dan kesadaran
subjektifnya terhapuskan, yang kemudian masuk kedalam kedirian yang lebih
tinggi, Baqa dalam Tuhan. Setelah ia kembali kepada kesadaran manusiawi dan
subjektifnya yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan tetapi pengalaman
ruhani yang dialami selam baqa tadi, tetap dalam dirinya[9].
Islamisasi Bahasa
Islamisasi bahasa Yang dimaksud Naquib adlah Islamisasi
konsep-konsep tentang pandangan dunia realitas dan epistemologi yang bertujuan
untuk mengimbangi pandangan dunia dan epistemologi Barat, artinya diperlukan
pengIslaman bahasa yang harus berjalan seiring dengan Islamisasi konsep atau
pikiran, karna Islamisasi yang ada dalam konsep atau teori tidaklah mungkin
dapat dipahami tanpa adanya perubahan-perubahan bahasa atau term-term yang
dikenal dalam pemahaman dan pemikiran Islam. Bahasa dan pemikiran ataupun teori
adalah dua hal yang berjalan seiring dan saling mempengaruhi.
Disamping itu menurutnya saat ini telah banyak terjadi
perusakan-perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang
sebagian besar merupakan bagian dari sekulerisasi atau lewat modernisasi tanpa
disadari sepenuhnya oleh pelakunya. Perusakan bahasa secara tak langsung berarti
perusakan atas pandangan dunia metafisika muslim pengguna bahasa tersebut,
karna bahasa inilah yang membentuk jaringan konseptual yang mewakili pandangan
dunia muslim, karna itulah perlu kiranya mengadakan reIslamisasi bahasa-bahasa
tersebut. Dalam hal ini Naquib mencoba untuk membuktikan bahwa pada dasarnya
cara pandang dunia (metafisika) muslim dalam serta sosialisasi konsep-konsep al
Quran, pada awalnya dimulai dari Islamisasi bahasa, termasuk juga bahasa arab.
Salah satu contoh adalah kata karim yang pada masa jahilliyah berarti kemuliaan
garis keturunan yang berkaitan dengan kedermawanan, sehingga kata tersebut
menjadi lawan bagi kata Bakhl, yang kemudian terjadi perubahan makna ketika
datangnya Islam melalui al Quran yang mengganti kata tadi menjadi kemuliaan
yang berdasarkan taqwa dan bukan garis keturunan sehingga menghasilkan suatu
medan semantic yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya[10].
Al Quran juga sunnah secara langsung maupun tak langsung
telah mengubah struktur konseptual istilah-istilah kunci jahilliyah secara
radikal, sehingga membuat suatu perombakan semua medan simantik jahiliyah. Yang
kemudian lambat laun menghapus jaringan konseptual yang sebelumnya (jahiliyah)
yang berganti dengan konseptual-konseptual baru yang khas Qurani. Proses Islamisasi
ini juga terjadi pada bahasa-bahasa Islam didaerah lain, bahasa non Arab,
seperti bahasa Turki, Persia, Melayu ketika para Da’I datang untuk mendakwahkan
Islam bahasa Qurani mampu menjadi medium pengungkapan metafisika Islam, itu
artinya perkembangan pemikiran Islam dimulai dengan adanya proses Islamisasi
bahasa, karna kata-kata kunci bahasa merupakan suatu medium terpenting dalam
mengungkapkan pemikiran dan pandangan dunia mistik muslim.
[1] A. Khudori Sholeh. M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam.,
Pustaka Pelajar Yogyakarta., Hal: 239
[2] Naquib. Alatas., Konsep Pendidikan dalam Islam., Mizan,
Bandung 1987., Hal: 26
[3] Jamal. Barzinji., Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.,
Malang, 1998., Hal: 59
[4] Muhammad. Imarah., Karakteristik Metode Islam., Jakarta,
1994., hal: 49
[5] Jamal. Barzinji., Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan.,
Malang, 1998., Hal: 49-50
[6] A. Khudori Sholeh. M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam.,
Pustaka Pelajar Yogyakarta., Hal:244
[7] Ibid., Hal: 253-254
[8] Naquib. Alatas., Konsep Pendidikan dalam Islam., Mizan,
Bandung 1987., Hal: 42-43
[9] A. Khudori Sholeh. M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam.,
Pustaka Pelajar Yogyakarta., Hal: 261-263
[10] Ibid., Hal: 264
0 komentar:
Posting Komentar