Kamis, 26 September 2013

Nahdlatul Ulama dalam Sejarah

Prakata, Pengertian dari NU (Nahdlatul Ulama)
            Secara Etimologi Nahdlatul Ulama terdiri dari dua kata bahasa Arab, Nahdlah berarti bangkit, bangun, loncatan sedangkan al Ulama berarti kelompok agamawan. Sedangkan secara epistemologi, Nahdlatul Ulama adalah suatu komonitas cendikiawan (ulama) yang mampu menerima, melestarikan dan meneruskan tradisi dan budaya generasi sebelumnya serta mampu memberikan sesuatu yang lebih memberikan manfaat.
Sedangkan Nahdlatul Ulama dalam rumusan Khittah Nahdlatul Ulama dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jamaah, berhaluan salah satu dari madzhab empat yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas manusia yang bertaqwa. Dalam redaksi lain juga dikatakan bahwa Nahdlatul Ulama adalah jamiah diniah Islamiah berakidah Islam menurut ahlus sunnah wal jamaah serta mengikuti salah satu madzhab empat[1][1].

Riwayat Singkat NU (Nahdathul Ulama)
            Nahdthul Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 31 January 1926, semula organisasi ini hanyalah suatu kepanitiaan biasa yang bernama Komite Merembuk Hijaz, organisasi ini diketuai oleh K.H. Hasyim Asyari, pendirinya terdiri dari tiga orang K.H. Abdul Wahhab Hasbullah (lahir 1888), K.H. Bisri (lahir 1887), K.H Hasyim Asyari (lahir 1871) akan tetapi pada umumnya pergerakannya banyak dilakukan oleh KH, Wahhab Hasbullah. Awalnya organisasi NU tidak memiliki rencana yang jelas, tidak ada AD/ART, pendaftaran angota pun masih sebatas para famili saja, kongres-kongresnya pun dibiayai oleh keluarga yang berkecukupan, barulah ketika NU memasuki tahun pertama dari gerakan yang dilakukannya lahir tujuan keorganisasian baru kemudian hal-hal yang lainnya dirumuskan[1][2].

Posisi Kyai maupun Ulama dalam pergerakan NU sangatlah menentukan, mereka sangat berperan sebagai Inspirator, Motifator, Stabilitisator maupun Dinamisator dalam pergerakan yang dilakukan oleh organisasi ini. K.H. Ahmad Shiddiq mengatakan bahwa pengambilan nama NU untuk gerakan yang memiliki landasan dasar pesantren ini bukanlah karna kebetulan ataupun tanpa adanya pertimbangan, nama ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa organisasi ini akan selalu mengandalkan keutuhan dan totalitas kekuatannya pada wibawa Ulama dan otoritas Kyai[1][3].
            Embrio awal NU (Nahdhathul Ulama) semula hanya bergerak melalui wadah Taswirul Afkar (1914) yang dipelopori oleh Wahab Hasbllah nama ini digunakan selama kurang lebih dua tahun lamanya hingga bergabungnya Mas Mansyur dalam gerakan ini baru kemudian merubah namanya menjadi Nahdthul Wathan (1916), perubahan ini tentu saja tidak terlepas daripada kondisi yang terjadi ketika itu, jika diakomodasikan taruhlah Nahdathul Wathan terlahir karna pengaruh dari gerakan yang dilakukan oleh gerakan Serikat Islam yang ketika itu masih bernama Central Sarikat Islam, karna telah berani untuk memproklamirkan adanya pemerintahan sendiri, yang dirumuskan dalam Kongres Nasional Central Serekat Islam di Bandung, kongres yang membawa pengaruh besar khususnya didaerah Surabaya sehingga secara tidak langsug  membuat pemuda Taswirul Afkar berani mengambil langkah ekstrim dengan mengubah nama organisasi mereka menjadi Nahdathul Wathan (pemuda pecinta Tanah Air)[1][4] padahal  ketika itu indonesia masih mengalami masa penjajahan.
Barulah setelah 10 tahun kemudian lahir organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 january 1926 melalui hasil rapat dari Komite Hijaz yang dihadiri oleh 15 Kyai besar, sebagai tanggapan atas kongres yang diadakan oleh Raja Su’ud di Makkah pada juny 1926, disini NU merupakan suatu perwujudan untuk mempertahankan faham tradisional serta untuk memberikan penjelasan yang komperehensif kepada Raja Suud akan pentingnya toleransi saling menghormati serta mengakui realitas perbedaaan pendapat dikalangan umat Islam[1][5].
Jika disingkat perjalanan awal NU hingga masa kelahirannya dapat dibagi menjadi tiga fase :

  1. sebagai Embrio Awal yang berwadahkan Taswirul Afkar sebuah, gerakan forum diskusi yang memperbincangkan seputar kebangsaan yang beriri pada tahun 1914 dan berjalan kurang lebih selama dua tahun hingga bergabungnya Mas Mansyur.
  2.   nama Taswirul Afkar diubah menjadi Nahdhatul Wahan (1916), yang terinpirasi dari SI, pada wadah kali ini Wahhab Hasbullah bergerak bersama Mas Mansyur dan rekan-rekan lainnya yang mengorentasikan gerakan mereka pada bidang pendidikan, akan tetapi gerakan-gerakan tersebut mengarah kepada pembangkitkan kesadaran para muritnya akan pentingnya suatu kebangsaan . 
  3. berubah kembali menjadi NU (Nahdlatul Ulama) pada tahun 1926 sebagai jawaban atas tantangan politik pada zamannya serta sebagai tanggapan atas kongres yang akan diadakan Raja Su’ud, bukan jamiah yang minus politik[1][6],

Gerakan-gerakannya
Terorganisirnya NU dan gerakan-gerakan yang dilakukannya membuat organisasi ini mampu berkembang pesat dalam jangka waktu yang relatif cepat hingga Pada tahun 1930, NU mampu mendirikan cabang-cabang diluar Jawa diantara cabang-cabangnya yang pertama berada didaerah Martapura dan Banjar (Kalimantan Selatan) bahkan organisasi lokal yang ada disana-pun ikut bergabung dengannya pada tahun 1936 yaitu organisasi Hidayatul Islamiyah. Tercatat pada tahun 1937, NU sudah memiliki kurang lebih dari 71 cabang perkembangannya sangat pesat hal itu terlihat dengan banyaknya cabang lain yang didirikan 5 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1942 organisasi ini telah memiliki 120 cabang diseluruh Jawa dan Kalimantan[1][7].
            Pergerakan-pergerakan NU dapat dikatakan banyak, pasalnya gerakan yang dilancarkannya bukan hanya sekedar gerakan yang berorientasikan pada permasalahan keagamaan ataupun hanya sekedar memajukan pendidikan saja seperti yang dilakukan oleh organisasi Jamiatul Kheir akan tetapi juga meliputi bidang perekonomian serta terlibat dalam arus perdagangan maupun perpolitikan, dibidang perekonomian dan perdagangan misalnya didirikannya Koprasi yang bernama Syirkah Muawwamah yang bergerak dibidang Ekspor-Impor, serta didirikannya badan Wakaf untuk mengurus persoalan jual beli tanah dls, dalam bidang politik-Kenegaraan NU juga tidak ketinggalan, banyak ulama-ulama NU yang terpanggil untuk aktif dalam pemerintahan, bahkan pasca kependudukan Jepang para Kyai NU membentuk semacam unit militer bagi pemuda Islam yang bernama Hizbullah yang bertujuan untuk memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia, slogan terkenal yang menjadi prinsip dasar mereka adalah “Hidup Mulia atau Mati Syahid” sedangkan gerakan militer yang dipelopori para Ulama yang bertindak sabagai pengayom bagi laskar Hizbullah dinamakan dengan Sabiilillah. Ada diantara para Ulama NU yang menduduki kursi di pemerintahan pada masa kependudukan Jepang adalah Hasyim Asyari yang menempati pos Shumubu, semacam kantor urusan agama ketika itu dan banyak tokoh lain selain beliau.
            Aktifitas-aktifitas ini bertambah banyak paska mendekati proses kemerdekaan Indonesia, banyak diantara mereka yang terlibat dalam penyusunan perencanaan ideologi negara dan perundangan, seperti K.H. Wahid Hasyim dan K.H. Masjikur yang aktif dalam memperbincangkan pola ideologi bernegara, disinilah mereka mencoba mengedepankan perlunya negara Indonesia mempunyai ideologi Islam, walaupun pada akhirnya ideologi ini tidak disetujui, akan tetapi perlu dicatat disini bahwa realitanya organisasi-organisasi yang berlandaskan semangat keIslaman memiliki peranan yang besar dalam menentukan kemerdekaan Indonesia bukan karna sekedar mayoritas masyarakatnya beragama Islam akan tetapi gerakan pembaharuan di-Indonesia umumnya dilatar-belakangi oleh gerakan-gerakan Islam, hal tersebut juga dibuktikan karna jarang tertangkapnya gerakan yang berasal dari keagamaan yang lain maupun organisasi yang melatar-blakangi gerakan mereka dengan istilah Nasionalis Murni dalam khazanah sejarah Indonesia, entah komunitas mereka yang sedikit atau mungkin banyak hal lain yang tak terekam oleh kacamata sejarah hal ini semakin terbukti dengan adanya kaum nasionalis murni yaitu, Gunawan Mangkukusumo seorang tokoh Budi Utomo yang menyatakan bahwa ia mengakui pesatnya pergerakan umat Islam, ia menyatakan bahwasanya rakyat indonesia ketika itu khususnya dikalangan pedesaan tidak mengenal istilah tanah air dan kesatuan yang mereka ketahui hanyalah bahwa diri mereka seorang muslim, oleh karna itulah bagi rakyat pada zaman tersebut arti muslim sama artinya dengan kesatuan antar mereka secara tak langsung[1][8].
terlepas dari upaya untuk membelakangi gerakan pihak lain dalam sejarah Indonesia akan tetapi organisasi yang berlandaskan Islam lebih cepat pergerakannya karna gerakannya menyeluruh kepada lapisan masyarakat ketika itu serta mayoritas orang Indonesia Muslim, ketimbang organisasi yang tidak membawa nama Islam seperti Budi Utomo yang digerakkan kaum Priyai, gerakannya bukan tertinggal karna tidak berlandaskan pada asas Islam akan tetapi karna organisasi tersebut tidak membuka dirinya untuk rakyat pribumi (msyarakat kecil) dan umumnya hanya berasal dari golongang priyai atau bangsawan lainnya maka agak riskan kiranya jika hari Kebangkitan Nasional didasari atas gerakan yang dilakukan oleh organisasi Budi Utomo karna pasalnya banyak ahli sejarahwan menyatakan bahwa Budi Utomo ketika itu masih bersikap ekslusif selama kurang lebih 20 tahun bahkan ada yang menyatakan 23 tahun dari tahun 1908 hingga tahun 1931[1][9], atau organisasi lain seperti Indische Partij (1912) yang pengaruhnya lebih meluas pada hanya sebatas Indo-Belanda.
Berikut beberapa klasifikasi pergerakan NU :
  1. Kongres I diadakan di Hotel Muslimin, Peneleh, Surabaya pada tanggal 17-19 September 1926, ketika NU menginjak usia 8 bulan. yang menghasilkan badan kepengurusan NU yang terdiri dari : Badan Eksekutif, Badan Legislatif, dan Dewan Penasehat.
  2. NU mengirimkan delegasinya ke Makkah kepada Raja Su’ud dengan maksud menyampaikan pandangan keagamaannya yang intinya agar Sang Raja mau bersikap Tolerensi dan bijak dalam melihat adanya perbedaan pandangan, akan tetapi misi ini sempat tertunda selama dua tahun lamanya.
  3. Kongres ke II diadakan ditempat yang sama pada tanggal 9 oktober 1927, yang menghasilkan struktur kepengurusan yang tak jauh berbeda.
  4. Kongres ke III, September 1928, atau sekitar sebulan sebelum sumpah pemuda, dilaksanakan pada tempat yang sama yang didalamnya membicarakan tentang momentum penataan organisasi, selain itu juga Hasyim Asyari mekukan pidato pembukaan yang dikenal sebagai Qonun Asasi.
  5. pada tahun-tahun berikutnya NU banyak mengadakan penentangan terhadap pemerintahan Belanda namun ada juga beberapa kongresnya yang bersikap akomodatif terhadap Belanda diantaranya adalah Kongres IX (1934) dan ke XI (1936) yang diadakannya di Banyuwangi dan Banjarmasin yang menyatakan bahwa penjajahan Belanda atas pulau Jawa dan pulau lainnya tidak mempengaruhi status wilayah tesebut sebagai daerah Islam. Adapun sikap penentangan NU terlihat jelas dengan melakukan pembangkangan Politik terhadap penguasa ketika itu dengan dikeluarkannya Resolusi tentang Jihad Fi Sabiilillah pada tanggal 22 oktober 1945, berberpa dua mingu kemudian tepatnnya pada tanggal 10 November 1945 meletus pertempuran sengit, pengaruh NU pada pertempuran ini sangatlah kental terutama dalam memobilisasi pergerakan massa ketika itu[1][10]. masih banyak pergerakan NU lainnya yang tak dibincangkan disini.
  6. pada tahun 1967 hingga 71 NU berada pada masa keemasaanya khususnya dalam kancah dunia politik, akan tetapi keberhasilan ini telah membuat NU melupakan dasar yang menjadi pondasi awal berdirinya organisasi ini. Pesantren yang awalnya menjadi pondasi sekaligus benteng NU perlahan mulai surut dari dimensi NU sendiri, akibat terlalu tercurahkannya perhatian NU kekancah politik di Indonesia ketika itu, hal ini terbukti akan keberhasilan NU mendapatkan gelar pemenang perolehan suara ke 2 pada tahun 1971[1][11]. Keberhasilan NU yang dianggap suatu kebanggan ternyata membuat NU semakin terasing dari dasar-dasar pondasi yang dibangunnya hingga akhirnya NU menyadari akan hal tersebut dan mulai kembali ke khittah 1926-nya .
  7. pada tahun 1982-1984 NU sering mengadakan musyawarah, yang membahas tentang melencengnya NU dari apa yang menjadi citranya sebelumnya yang berbasis agama, hal ini menemukan titik terang dengan kembali ke khittah 1926 yang merupakan hasil dari pada muktamar yang diadakan di Situbondo pada tahun 1984, oleh karna itulah NU membebaskan para anggotanya untuk menyalurkan aspirasi politiknya kemana ia suka, ide untuk kembali kekhittah merupakan suatu tafsiran yang tepat bagi NU untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan Negara[1][12].

Konsep NU Tentang Negara
            Yang menjadi orientasi kaum NU dalam kenegaraan adalah Negara yang menjunjung nilai-nilai Islam hal ini dikarnakan mereka memandang bahwa pada dasarnya Negara Hindia-Belanda adalah Negara yang sebelunya dikuasai oleh orang Islam sebelum jatuh kedalam genggaman orang kafir oleh karna itulah perlu kiranya negara tersebut memiliki nilai keIslaman berdasarkan apa yang telah digenggamnya semenjak dahulu yaitu Islam, hal ini diperbincangkan NU ketika muktamar ke 11 tepatnya di Banjarmasin 9 juny 1936 singkatnya pada kongrenya ke 11 ini NU mencoba untuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar dari pada ideologi kenegaraan oleh karna itulah penulis berani memastikan bahwa ada sebuah gerakan seperti Pan-Islamisme yang dilakukan M.Iqbal pasca perjuangan menuntut hak-hak muslim di India.
 5 tahun menjelang kemerdekaan NU kembali membincangkan tentang Syariat Islam yang menjadi dasar bagi kenegaraan Indonesia, mereka mengadakan suatu rapat tertutup pada kongresnya yang ke 15 yang dihadiri oleh 11 ulama, dengan maksud untuk membincangkan siapa yang cocok untuk menjadi presiden Indonesia yang pertama, terdapat dua nama yang terpilih ketika itu yaitu Soekarno dan Moch. Hatta, para ulama sepakat untuk memilih Soekarno dengan 10 banding 1[1][13].
            Pemikiran NU tentang relasi antara Syariat Islam dan Negara mulai terkonsep dan menemukan bentuk ketika negara RI sedang memasuki masa-masa persiapan menjelang kemerdekaan KH. Wahid Hasyim yang termasuk salah satu panitia dalam perumusan UUD mengusulkan agar agama Negara adalah agama Islam dengan jaminan bahwa pemeluk agama lain dapat melakukan ritual keagamaan mereka menerut keyakinan mereka masing-masing, ia juga mengusulkan bahwa Presiden dan Wakilnya harus beragama Islam[1][14] untuk usulannya yang kedua ini umumnya dapat diterima khususnya oleh kalangan Nasionalis murni akan tetapi untuk usulannya yang pertama tidak mendapatkan dukungan yang baik oleh orang-orang yang hadir ketika itu .
Peranan Perumpuan NU dan Gerakannya
            Pergerakan kaum hawa telah tercatat dalam sejarah NU sejak 12 tahun berdirinya atau tepatnya pada tahun 1938 lahirlah Muslimat NU yang memiliki wadah ketika tahun 1950 dengan organisasi bernama Fatayat NU yang memberikan kontribusi yang penting dalam pergerakan feminisme bersama Aisyah bentukan Muhammadiyah. Embrio awal keputusan pengesahan Muslimat NU lengkap dengan Anggaran Dasar dam Pengurus Besar dilakukan pada Muktamar NU ke 15 di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 5-9 Desember 1940, akan tetapi baru ditetapkan sah secara resmi baru pada tahun 1946. dilahirkan sebagai wadah perjuangan perumpuan Indonesia yang bersendikan paham Ahlus Sunah[1][15].
            Tujuan dari pada muslimat NU disini adalah membawa perumpuan Indonesia pada kesadaran keagamaan, kebangsaan serta kenegaraan selain itu Muslimat Nu juga menetapkan tujuan untuk menyadarkan perumpuan Indonesia akan tanggung jawabnya menurut Islam. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dengan tetap bersandar pada Aswaja, Muslimat menetapkan motto perjuangannya dengan berdasarkan pada surat al Quran surah An Nahl : 97 yang artinya : “barang siapa yang mengerjakan amal sholeh baik laki-laki maupun perumpuan dalam keadaan beriman maka sesungguhnya akan aku berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan aku berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan” . Muslimat NU terlahir dari kalangan pesantren , kader-kadernya kebanyakan berasal dari putra-putri kyai atau santri-santri dari pesantren[1][16].
            Keterlibatan Muslimat dalam perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dihindari, peranan mereka di dapur umum, palang merah, bahkan sebagai kurir penghubung menjadi ciri umum bagi pergerakan perumpuan ketika itu, Muslimat NU mulai fokus kepada isu-isu seputar perumpuan di Indonesia sejak Muktamar NU ke 20, isu-isu tersebut seputar masalah perkawinan anak-anak dibawah umur atau tentang pengawasan pelaksanaan perkawinan, merespon keputusan yang merugikan kaum hawa saperti kasus perceraian maupun pembagian warisan, akan tetapi yang menjadi point terpenting yang mewakili gerakan perumpuan secara keseluruhan adalah agar secara nasional peranan wanita ditingkatkan disegala bidang[1][17]. Dari keterangan diatas tampak jelas kiranya perjuangan Muslimat dalam menuntut kesetaraan Gender.

             Mungkin Inilah gambaran singkat tentang sejarah NU beserta gerakan- gerakannya khusunya pada masa awal-awal berjalannya hingga memiliki kontribusi yang cukup besar dalam kemerdekaan Indonesia maupun perumusan pemerintahan serta undang-undang yang akan digenggam oleh negara Indonesia ketika itu serta aktifitas yang mereka lakukan sepanjang perjalanan Indonesia hingga saat ini.

Daftar Pustaka


Fatoni. Hilmy Muhammad Sulthan., NU : Identitas Islam Indonesia., eLSAS Jakarta November 2004.

Ismail. Prof. Dr. Faisal, M.A., Dilema NU ditengah Badai Pragmatisme Politik.,  Depag RI Jakarta, 2004.,

Jamhari. Ismatu. Ropi., Citra Perempuan dalam Islam (Pandangan Ormas Keagamaan)., PT Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan PPIM-UIN Jakarta dan The Ford Foundation. Jakarta, 2003

Masduqi. Drs. KH. Achmad., Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, Artikel diakses pada 8 april 2009 dari, http : //  pesantren. or. id. 29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi- bin/content.cgi/artikel/sejarah_nahdlatul_ulama.single.

Suryanegara. Ahmad Mansyur., Menemukan Sejarah (Wacana Pergerakan Islam di Indonesia).,  Mizan, Bandung 1995.

Tsani. Drs. Abdul., Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam., PT. Raja Grafindo Perkasa 1998.




[1][1] Identitas Islam Indonesia.,Hilmy Muhammad Sulthan Fatoni., eLSAS Jakarta November 2004., Hal : 120 - 121
[1][2] Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam., Drs. Abdul Tsani., PT. Raja Grafindo Perkasa 1998., Hal : 216-219
[1][3]  Dilema NU ditengah Badai Pragmatisme Politik., Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., Depag RI Jakarta, 2004., Hal : 15
[1][4] Menemukan Sejarah (Wacana Pergerakan Islam di Indonesia)., Ahmad Mansyur Suryanegara., Mizan, Bandung 1995., Hal : 226
[1][5]  NU : Identitas Islam Indonesia.,Hilmy Muhammad Sulthan Fatoni., eLSAS Jakarta November 2004., Hal : 118 - 120
[1][6] Dilema NU ditengah Badai Pragmatisme Politik., Prof. Dr. Faisal Ismail, M.A., Depag RI Jakarta, 2004., Hal : 15
[1][7] Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam., Drs. Abdul Tsani., PT. Raja Grafindo Perkasa 1998., Hal : 220
[1][8] Menemukan Sejarah (Wacana Pergerakan Islam di Indonesia)., Ahmad Mansyur Suryanegara., Mizan, Bandung 1995., Hal : 192
[1][9] Ibid., Hal : 201
[1][10] NU : Identitas Islam Indonesia.,Hilmy Muhammad Sulthan Fatoni., eLSAS Jakarta November 2004., Hal : 121-129
[1][11]Prof. Dr. Faisal Ismail, MA, Dilema NU: Di tengah badai pragmatisme politik, h. 10-11.
[1][12] Ibid.
[1][13] NU : Identitas Islam Indonesia.,Hilmy Muhammad Sulthan Fatoni., eLSAS Jakarta November 2004., Hal : 139-141
[1][14] Ibid.., Hal : 143
[1][15] Citra Perumpuan dalam Islam (Pandangan ormas Keagamaan)., penyuting Jamhari dan Ismatu Ropi., PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., Hal : 20
[1][16] Ibid., Hal : 21
[1][17] Ibid., Hal : 22-23
[1][18]Drs. KH. Achmad Masduqi, Riwayat Perjuangan Jam'iyyah Nahdlatul Ulama', Artikel diakses pada 8 april 2009 dari, http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/sejarah_nahdlatul_ulama.single.


0 komentar:

Posting Komentar

Cute Purple Pencil