Selasa, 01 Oktober 2013

Konsep Madinah Al Fadhilah Al-Farabi

Al Farabi

Al Farabi hidup di daerah otonom yaitu negara Samaniah yang didirikan oleh Ismail setelah mengalahkan Saffariah, Samaniyah merupakan negara yang berada dibawah pemerintahan Daulah Abbasiyah, khalifah yang memimpin ketika itu adalah al Mu.tamid, khalifah yang memerintah dimasa kelahiran Al Farabi. Ketika masa pemerintahan raja Samaniyah keempat Bukhara terkenal sebagai pusat ilmu dan kesusastraan maka tak ayal seorang yang haus ilmu seperti al Farabi pergi kesana untuk mempelajari ilmu pengetahuan termasuk juga ilmu-ilmu Yunani.
Setelah belajar pendidikan awal disana ia pergi ke Marwa, disinilah ia memulai perjalanan awal pemikirannya dengan mempelajari logika kepada orang Kristen Nestorian yang pandai dalam berbahasa Suryani yaitu Yuhanna ibnu Hailan. Selanjutnya al Farabi memilih untuk pindah ke Baghdad lalu beralih pergi ke Konstantinopel setelahnya. Pada pemerintahan Al Muttaqi, ia tinggal disana selama 8 tahun untuk mempelajari seluruh silabus filsafat yang kemudian bertolak kembali ke Baghdad[1][1].
Pada tahun 942 M terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh mantan kolektor pajak yaitu al Baridi. Sementara al Farabi sendiri memilih untuk pergi ke Suriah. Disana ia bekerja sebagai tukang kebun disiang hari dan menghabiskan malamnya dengan teks-teks filsafat. Menurut Ibn Abi Usai.biah, al Farabi menulis manuskripnya yang berjudul Al Madinah Al Fadilah di Baghdad kemudian di selesaikannya di kota Damaskus[2][2]. Oleh karna itulah konsepnya tentang kota utama erat hubungannya dengan kondisi situasi politik yang sedang berlangsung, yang ketika itu sedang mengalami keguncangan khususnya dibidang sosio-politik, pada masa pemerintahan al Muttaqi serta tahun awal masa pemerintahan al Muqtadir[3][3].
Manusia menurut al Farabi termasuk spesies yang tak dapat menyelesaikan urusan penting mereka, atau mencapai keadaan terbaik mereka kecuali dengan jalan asosiasi (perkumpulan). Manusia hidup bermasyarakat dan saling bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai suatu kebutuhan hidup yakni kebahagiaan, yang merupakan sifat dasar dari setiap manusia. Sifat dasar inilah yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat dan bernegara, hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakannya dalam Al Madinah Al Fadilah (Kota Utama) : “demi mempertahankan (keberadaannya) dan mencapai kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara alami membutuhkan banyak hal yang semuanya tak mampu untuk ia penuhi sendiri. Ia sungguh membutuhkan orang yang mempermudahnya dengan kebutuhan-kebutuhan tertentunya. Setiap orang yang mendapati dirinya dalam hubungan yang sama dengan orang lain dengan jalan yang serupa seperti ini. Oleh karna itulah manusia tak mampu untuk meraih kesempurnaan tersebut, yang untuk hal itu jugalah sifat bawaannya telah diberikan kepadanya, kecuali melalui asosiasi banyak orang, yang bekerja sama, berkumpul bersama, yang masing-masing membantu orang selainnya dengan kebutuhan tertentu. Sehingga hasil sumbungan seluruh kelompok yang dibutuhkan semua orang dapat digunakan untuk mempertahankan diri”.
Masyarakat merupakan salah satu hal yang di amati oleh al Farabi dalam membangun konsep kota utamanya, ia membagi masyarakat kedalam dua kelompok besar, yakni masyarakat yang sempurna (dapat berasosiasi demi tercapainya tujuan bersama) dan yang tak sempurna. Yang dimasud dengan masyarakat sempurna disini adalah masyarakat kelompok besar, bisa berbentuk masyarakat kota, ataupun masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan bekerja sama secara internasional. Sementara yang dikatakan masyarakat yang tidak sempurna adalah masyarakat yang hanya dalam keluarga maupun sedesa dalam lingkup yang lebih kecil. Masyarakat yang terbaik menurut al Farabi adalah masyarakat yang bekerja sama serta saling bantu untuk mencapai kebahagiaan, masyarakat yang demikianlah yang dikatakan sebagai masyarakat yang utama[4][4].
Menciptakan suatu komunitas yang utama ini menjadi salah satu objek penting yang berkaitan erat dengan pemimpin dan kota yang utama dalam konsep kota utama al Farabi. Masyarakat ini merupakan suatu kegelisahan dari sosok al Farabi serta objek dari buruknya pimpinan dan kepemimpinan seorang pemimpin, maka dari itulah dalam pembahasan tentang kota utama dan lawannya kelak, masyarakat tidak pernah lepas dari pembicaraan al Farabi, meskipun ia sendiri cenderung menitikberatkan kebaikan dan keburukan masyarakat tergantung dari pemimpin dan kepemimpinannya. Oleh karna itulah masyarakat di sini memiliki hubungan vital dengan pemimpin serta kota utama yang di gagas al Farabi.


Pemimpin Utama Al Farabi
            Masyarakat yang bagus adalah masyarakat besar yang saling membantu serta bekerja sama demi mencapai kebahagian hidup akan tetapi tentunya tidak semua orang yang terdapat dalam perkumpulan tesebut yang cenderung maupun berkeinginan untuk mengetahui kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap individu dan tujuan asosiasi serta bagaimana cara untuk mencapai kebahagiaan itu sendiri, kalaupun ia mengetahuinya dengan pengetahuan maupun dengan bimbingan guru tidak semuanya yang berlaku sesuai dengan pengetahuannya jika tidak ada yang memotifasi dari luar, oleh karna itulah masyarakat menurut al Farabi membutuhkan orang yang mendorong mereka untuk berbuat apa yang diketahuinya dan memberikan pendidikan dan pengajaran kepada orang yang tidak mengetahuinya, orang yang menjadi pemimpin bagi asosiasi masyarakat tersebut.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan disini, tidak semua orang memiliki kapasitas serta seni untuk memimpin ataupun memandu orang lain, umumnya siapa yang memiliki kapasitas tersebut tidaklah memiliki seni dan kemampuan untuk membawa serta menasehati orang lain untuk melakukan hal-hal tertentu, akan tetapi hanya memiliki salah satu dari krateria di atas, tetapi tidak menutup kemungkinan ada juga orang yang memiliki krateria keduanya. Dalam hal ini al Farabi mencoba untuk mengklarifikasikan kelompok orang yang akan memimpin kelompok besar, yang terdiri dari 3 kelompok yaitu: penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya, kedua, penguasa subordinat yang berkuasa sekaligus dikuasai dan yang ketiga adalah yang dikuasai sepenuhnya[5][5]. Dalam pembagiannya ini terlihat memiliki kesamaan dengan pemerintahan ketika dia hidup, Daulah Abbasiah adalah pusat pemerintahan yang dipimpin seorang khalifah yang menguasai seluruh Negara lain, kedua pimpinan Negara daerah yang berada dibawah kekuasaan khalifah yang memimpin pemerintahan pusat yang ketiga adalah rakyat yang dipimpin baik yang berada dikawasan pemerintahan pusat maupun yang berada dibawah kepemimpinan khalifah daerah, oleh karna itulah kondisi sosio-politik kemungkinan ikut mempengaruhi konsep pemimpin yang utama yang di gagas oleh al Farabi.
 Bagi al Farabi pemimpin tertinggi adalah pemimpin yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan berbagai jenis pengetahuan. Pemimpin tersebut harus memahami betul apa yang harus dilakukannya, ia harus dapat membimbing orang dengan baik, sehingga orang mau melakukan apa yang diperintahkannya, ia juga mampu untuk memanfaatkan orang yang memiliki bakat atau kemampuan tertentu. Ia bisa menentukan, mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan. Kesemuaan krateria pemimpin ini hanya dimiliki oleh orang yang memiliki kecenderungan alami yang besar dan unggul, dengan menyatukan jiwanya dengan akal aktif (Tuhan), orang yang seperti itulah pangeran sejati. singkatnya pemimpin sepenuhnya adalah pemimpin yang sempurna akal, fisik, mental dan jiwanya sedang pemimpin yang lainnya dibawah kepemimpinannya.
Dalam pandangan al Farabi pemimpin yang sepenuhnya (pemimpin utama) memiliki kedudukan penting dalam gagasan kota utamanya, fungsi pemimipin tersebut ibarat jantung bagi tubuh yang menjadi sumber bagi aktifitas, sumber peraturan dan keselarasan hidup dalam masyarakat, oleh karna itulah ia harus memiliki persyaratan-persyarataan tertentu sepeti apa yang dikatakan diatas, serta memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan akal kesepuluh yaitu pengatur bumi dan penyampai wahyu.
Adapun orang yang menerima wahyu atau mampu berkomunikasi dengan penyampai wahyu, pada krateria ini memiliki hubungan yang erat dengan konsep ke-Nabian dan teori akal yang digagasnya yakni orang yang memiliki imajenasi yang tinggi yang tidak terpengaruh oleh objek indrawi dari luar yang membuatnya dapat berhubungan dengan akal Fa’al (akal kesepuluh, Jibril) [6][6], dan jika kekuatan imajenasi itu telah sempurna maka tak ada halangan baginya untuk menangkap peristiwa-peristiwa sekarang maupun yang akan datang yang didapatkannya melalui akal kesepuluh sekalipun dalam keadaan tersadar (bangun tidak tidur). Melalui akal kesepuluh inilah ia mampu menerima visi dan kebenaran dalam bentuk wahyu, dengan demikian, maka dalam hal ini Nabi dan para Filosoflah yang menurut al Farabi paling pantas memangku jabatan pemimpin yang utama tersebut, adapun para Filosof dapat berkomunikasi dengan Tuhan melalui akal perolehan (mustafad) yang telah terlatih dan memiliki daya tangkap yang kuat sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal ke sepuluh.
Nabi mendapatkannya karna penganugrahan akal suci kepadanya yang merupakan pengkhususan langsung dari Tuhan yang dinamakan al Farabi dengan Had’s yang merupakan akal terkuat dan sempurna yang berada jauh lebih tinggi dari pada akal mustafad, akal yang memiliki daya tangkap yang luar biasa tanpa latihan sedikitpun (laduni, Ma’rifah) yang diberikan kepada para Nabi oleh karna itulah bagi al Farabi setiap Nabi adalah Filosof sedangkan tidak setiap Filosof adalah Nabi. Tetapi jika dilihat dari sisi pengetahuan dan sumbernya antara Filosof dan Nabi memiliki kesamaan yang menjadikan kebenaran wahyu tidaklah bertentangan dengan pengetahuan filsafat sebab berasal dari sumber yang sama yakni akal Fa’al  [7][7].

Problem Kaderitas Kepemimpinan
            Al Farabi telah menjabarkan secara eksplisit tentang krateria pemimpin yang utama akan tetapi yang menjadi permasalahan disini bukanlah persyaratan-persyaratan yang dikemukakannya, tetapi adakah orang yang memiliki persyaratan tersebut jika pemimpin yang utama telah tiada sebagai contohnya Nabi Muhammad? Dalam menyikapi problema kaderitas kepemimpinan disini al Farabi mengatakan “jika terjadi tidak ada orang (setelah mangkatnya penguasa utama) yang memenuhi persyaratan seperti ini maka perlu kiranya diterapkan hukum-hukum yang digariskan oleh penguasa utama sebelumnya, menuliskannya, melestarikannya, memerintah kota berdasarkan hukum-hukumnya yang disesuaikan kepada situasi yang baru”.
Lebih lanjut al Farabi mengambarkan kemungkinan adanya sekelompok orang yang mengajukan diri serta menunjukan kemampuan mereka untuk memenuhi persyaratan menjadi pemimpin yang utama. Atau bisa juga mengangkat pemimpin yang berada pada tingkatan kedua (pemimpin yang berkuasa dan dikuasai) asalkan memiliki kualitas serta mengetahui hukum-hukum yang digariskan penguasa yang utama dan juga memiliki kebajikan (kearifan) dan pandangan-pandangan yang sehat sehingga dapat memberikan penafsiran dan penerapan hukum sesuai dengan situasi yang baru selain itu ia juga memiliki kemampuan persuasive dan representasi imajenatif. Jika tidak memenuhi persyaratan juga maka para filosof yang mampu mengikuti, manafsirkan, mengembangkan, dan menetapkan hukum dan adat yang telah dipatenkan oleh penguasa utama sebelumnya sesuai dengan situasi yang baru. filosof disini bukan hanya mengerti prihal keagamaan saja tetapi pemimpin yang memiliki keterampilan politik atau kerajaan yang mampu mengapresiasikan keduanya secara seimbang dan bersamaan. Al Farabi juga menyatakan “ jikalau suatu saat tak bisa lagi ditemukan filosof yang dikaitkan dengan krateria kepemimpinan tersebut, maka selang beberapa waktu tertentu kota yang dibangun akan musnah” (kehilangan nilai-nilai utamanya).
           
Kota Utama Al Farabi
            Melalui karyanya yang fundamental yaitu kota utama, al Farabi membagi kota atau Pemerintahan menjadi lima bagian besar yang pertama adalah kota utama, kedua, kota Jahiliyah, ketiga, kota fasiq, keempat, kota sesat, kelima, kota berubah. Yang dimaksud dengan kota yang utama disini adalah kota yang dipimpin oleh orang-orang yang utama berupa suatu perkempulan yang bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan, kota yang diperintah oleh penguasa tertinggi yang benar-benar memilki berbagai ilmu dan segala jenis pengetahuan.
            Mengenai cara kerja kota utama, al Farabi menyatakan bahwa awalnya penduduknya dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kelebihan, yang masing-masing diberi kedudukan sebagai yang diperintah dan memerintah, yang dimulai dengan peringkat penguasa tertinggi atau penguasa sepenuhnya, seperti apa yang tertulis sebelumnya. Peringkat tersebut kemudian secara berangsur-angsur turun sampai pada peringkat yang diperintah, yang sama sekali tidak memiliki elemen memeintah, yang dibawahnya tak ada lagi peringkat. Dengan memilah-milah kelompok mana atau siapa yang memiliki pengetahuan dan ilmu yang luas yang kemudian memasukkannya dalam kelompok terdidik serta dapat dipilih untuk mengemban jabatan politik mewakili masyarakat yang akan diperintah.
Kota utama ini memiliki tujuan untuk mendapatkan kebahagian, kebahagian yang diartikan oleh Al Farabi hanya dengan lenyapnya keburukan-keburukan dari setiap kota-kota yang mengadakan kerja sama. Mengenai kota utama ini, tampaknya akhlak dari pada pemimpin dan masyarakatnya menjadi sorotan yang utama bagi Al Farabi, pemimpin yang terpilih yang memiliki pengetahuan agar mendidik rakyatnya dengan memperkenalkan kebijakan-kebijakan teoritis dan pengetahuan, karna hanya dengan adanya pemimpin yang utama inilah dapat kota yang utama dapat terwujud, pemimpin utama ibarat alat vital bagi lahirnya kota yang utama menurut al farabi.
Tentang kota utama ini al Farabi cenderung menitik beratkan pada individu masyarakat dan pemimpinannya dengan pemimpin sebagai tolak ukur bagi Negara yang di pimpin. Lebih lanjut menurut al Farabi, Kota utama ini hanya akan terwujud dengan dimilikinya pendidikan dan pengetahuan maupun kebajikan para pemimpin, karna hanya dengan begitulah orang yang di pimpin menjadi baik serta kebahagiaan akan didapatkan, sebab kebahagiaan adalah dengan lenyapnya keburukan-keburukan, yang dalam kacamata al Farabi keburukan itu cenderung kepada aklak dari pribadi pemimpin yang dapat mempengaruhi rakyatnya, hal ini dapat dilihat dari penjelasannya mengenai kota-kota yang menjadi lawan bagi kota yang utama. Singkatnya, dengan memperkenalkan pengetahuan dan kebajikan kepada setiap orang yang ada dalam kota itu sendiri melalui pemimpin yang utama maka kota yang utama dapat di realisasikan menjadi suatu bentuk nyata.

Lawan Kota Utama
            Kota utama merupakan suatu kota yang diidamkan oleh al Farabi akan tetapi bukan dengan demikian tidak ada konsekwensi lanjut bagi adanya kota utama tersebut dalam artian ada kemungkinan terburuk yang menjadi lawan dari kota utama. Dalam hal ini tampaknya al-Farabi telah memperkirakan kemungkinan terburuk tersebut dengan membagi kota menjadi beberapa bagian, seperti apa yang tertuang dalam tulisan pemakalah sebelumnya. Adapun mengenai kemungkinan buruk yang merupakan lawan dari kota utama al-Farabi membagi kota yang merupakan suatu kemungkinan buruk menjadi beberapa bagian yang diantaranya adalah kota jahiliyah, lawan bagi kota yang utama, yang dimaksud disini adalah kota yang warganya tidak mengetahui kebahagiaan yang sebenarnya, karna mengartikan kebahagiaan dengan segala hal yang secara superficial dianggap baik dan merupakan tujuan dari pada hidup itu sendiri, seperti kesenangan, kemakmuran, kesehatan tubuh, kebebasan memenuhi hasrat dll.
            Al Farabi membagi kota jahiliyah menjadi enam bagian: pertama, kota kebutuhan dasar, kota yang menganggap kebutuhan dasar manusia adalah suatu kebahagian, bagi mereka orang yang mampu menguasai menejemen untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan adalah orang yang pantas dijadikan pemimpin. Kota ini mengartikan kebahagian dengan terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat material. Kedua, kota jahat, yaitu kota kebutuhan dasar dalam tingkat ekstrim, yang penduduknya memandang kebahagiaan hanya merupakan hal-hal yang material. Ketiga, kota rendah, yaitu kata yang para penduduknya hanya menuntuk kesenangan-kesenangan belaka yang sekedar berguna bagi kebutuhan hidup sehari-hari. Keempat, kota kehormatan, yaitu kota yang hanya memprioritaskan kehormatan dan pujian belaka dari bangsa-bangsa lain yang tujuannya tak lain hanya ingin mendapatkan sanjungan belaka. Kelima, kota kekuasaan, yaitu kota yang haus akan kekuasaan yang mengartikan kebahagiaan dengan menguasai kota-kota selainnya. Yang terakhir adalah kota demokratik, kota yang tujuan hidupnya adalah kebebasan, yang penduduk boleh melakukan segala hal tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya oleh pemimpinnya.
            Selain dari pada kota jahiliyah yang menjadi lawan kota utama ada juga kota lain yaitu kota fasiq, kota yang pada dasarnya mengetahui pengetahuan, kebahagian sejati, terdidik, akan tetapi mereka tidak berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya dan di yakininya sebaliknya mereka malah menghendaki kebahagiaan dengan meraih kebutuhan-kebutuhan seperti apa yang terjadi di kota jahiliah. Selain itu ada juga kota sesat, yaitu kota yang memiliki kepercayaan yang keliru tentang kebahagiaan yang sejati sehingga salah dalam menentukan tujuan tertinggi dari hidup. Singkatnya kota jahiliyah ini lebih dominan terjadi dalam kenengaraan, oleh karna itulah konsep kota utama seperti mimpi indah yang sangat menggiurkan untuk merealisasikannya menurut al Farabi, karna baginya kota utama ibarat sebuah wadah besar yang di dalamnya menampung kebaikan yang merupakan point tertinggi yang di istilahkan al Farabi dengan kebahagian sejati.




[1][1] Yamani., Filsafat Politik Islam(Antara Al Farabi dan Khumaini)., Mizan., Hal: 53-55
[2][2] Ibid., Hal: 56-57
[3][3] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar. M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)., Pt. Raja Grapindo Persada., Hal: 81
[4][4] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar. M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)., Pt. Raja Grapindo Persada., Hal: 83
[5][5] Yamani., Filsafat Politik Islam(Antara Al Farabi dan Khumaini)., Mizan., Hal: 61
[6][6] Ada tiga jenis akal sebagai daya fikir yang terdapat pada jiwa manusia menurut al Farabi : 1. akal potensial 2. akal aktual 3. akal mustafad.
[7][7] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar. M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)., Pt. Raja Grapindo Persada., Hal: 80-81

0 komentar:

Posting Komentar

Cute Purple Pencil