Al
Farabi
Al Farabi hidup di daerah otonom yaitu negara Samaniah yang
didirikan oleh Ismail setelah mengalahkan Saffariah, Samaniyah merupakan negara
yang berada dibawah pemerintahan Daulah Abbasiyah, khalifah yang memimpin
ketika itu adalah al Mu.tamid, khalifah yang memerintah dimasa kelahiran Al
Farabi. Ketika masa pemerintahan raja Samaniyah keempat Bukhara terkenal
sebagai pusat ilmu dan kesusastraan maka tak ayal seorang yang haus ilmu
seperti al Farabi pergi kesana untuk mempelajari ilmu pengetahuan termasuk juga
ilmu-ilmu Yunani.
Setelah belajar pendidikan awal disana ia pergi ke Marwa,
disinilah ia memulai perjalanan awal pemikirannya dengan mempelajari logika
kepada orang Kristen Nestorian yang pandai dalam berbahasa Suryani yaitu
Yuhanna ibnu Hailan. Selanjutnya al Farabi memilih untuk pindah ke Baghdad lalu
beralih pergi ke Konstantinopel setelahnya. Pada pemerintahan Al Muttaqi, ia
tinggal disana selama 8 tahun untuk mempelajari seluruh silabus filsafat yang
kemudian bertolak kembali ke Baghdad[1][1].
Pada tahun 942 M terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh
mantan kolektor pajak yaitu al Baridi. Sementara al Farabi sendiri memilih
untuk pergi ke Suriah. Disana ia bekerja sebagai tukang kebun disiang hari dan
menghabiskan malamnya dengan teks-teks filsafat. Menurut Ibn Abi Usai.biah, al
Farabi menulis manuskripnya yang berjudul Al
Madinah Al Fadilah di Baghdad kemudian di selesaikannya di kota Damaskus[2][2]. Oleh karna
itulah konsepnya tentang kota utama erat hubungannya dengan kondisi situasi
politik yang sedang berlangsung, yang ketika itu sedang mengalami keguncangan
khususnya dibidang sosio-politik, pada masa pemerintahan al Muttaqi serta tahun
awal masa pemerintahan al Muqtadir[3][3].
Manusia menurut al Farabi termasuk spesies yang tak dapat
menyelesaikan urusan penting mereka, atau mencapai keadaan terbaik mereka
kecuali dengan jalan asosiasi (perkumpulan). Manusia hidup bermasyarakat dan
saling bantu-membantu untuk kepentingan bersama dalam mencapai suatu kebutuhan
hidup yakni kebahagiaan, yang merupakan sifat dasar dari setiap manusia. Sifat
dasar inilah yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat dan bernegara,
hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakannya dalam Al Madinah Al Fadilah (Kota Utama) : “demi mempertahankan
(keberadaannya) dan mencapai kesempurnaan tertingginya, setiap manusia secara
alami membutuhkan banyak hal yang semuanya tak mampu untuk ia penuhi sendiri.
Ia sungguh membutuhkan orang yang mempermudahnya dengan kebutuhan-kebutuhan
tertentunya. Setiap orang yang mendapati dirinya dalam hubungan yang sama
dengan orang lain dengan jalan yang serupa seperti ini. Oleh karna itulah
manusia tak mampu untuk meraih kesempurnaan tersebut, yang untuk hal itu
jugalah sifat bawaannya telah diberikan kepadanya, kecuali melalui asosiasi
banyak orang, yang bekerja sama, berkumpul bersama, yang masing-masing membantu
orang selainnya dengan kebutuhan tertentu. Sehingga hasil sumbungan seluruh
kelompok yang dibutuhkan semua orang dapat digunakan untuk mempertahankan
diri”.
Masyarakat merupakan salah satu hal yang di amati oleh al
Farabi dalam membangun konsep kota utamanya, ia membagi masyarakat kedalam dua
kelompok besar, yakni masyarakat yang sempurna (dapat berasosiasi demi
tercapainya tujuan bersama) dan yang tak sempurna. Yang dimasud dengan
masyarakat sempurna disini adalah masyarakat kelompok besar, bisa berbentuk
masyarakat kota, ataupun masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang
bersatu dan bekerja sama secara internasional. Sementara yang dikatakan
masyarakat yang tidak sempurna adalah masyarakat yang hanya dalam keluarga
maupun sedesa dalam lingkup yang lebih kecil. Masyarakat yang terbaik menurut
al Farabi adalah masyarakat yang bekerja sama serta saling bantu untuk mencapai
kebahagiaan, masyarakat yang demikianlah yang dikatakan sebagai masyarakat yang
utama[4][4].
Menciptakan suatu komunitas yang utama ini menjadi salah
satu objek penting yang berkaitan erat dengan pemimpin dan kota yang utama
dalam konsep kota utama al Farabi. Masyarakat ini merupakan suatu kegelisahan
dari sosok al Farabi serta objek dari buruknya pimpinan dan kepemimpinan
seorang pemimpin, maka dari itulah dalam pembahasan tentang kota utama dan
lawannya kelak, masyarakat tidak pernah lepas dari pembicaraan al Farabi,
meskipun ia sendiri cenderung menitikberatkan kebaikan dan keburukan masyarakat
tergantung dari pemimpin dan kepemimpinannya. Oleh karna itulah masyarakat di
sini memiliki hubungan vital dengan pemimpin serta kota utama yang di gagas al
Farabi.
Pemimpin
Utama Al Farabi
Masyarakat yang bagus adalah
masyarakat besar yang saling membantu serta bekerja sama demi mencapai
kebahagian hidup akan tetapi tentunya tidak semua orang yang terdapat dalam
perkumpulan tesebut yang cenderung maupun berkeinginan untuk mengetahui
kebahagiaan yang menjadi tujuan setiap individu dan tujuan asosiasi serta
bagaimana cara untuk mencapai kebahagiaan itu sendiri, kalaupun ia
mengetahuinya dengan pengetahuan maupun dengan bimbingan guru tidak semuanya
yang berlaku sesuai dengan pengetahuannya jika tidak ada yang memotifasi dari
luar, oleh karna itulah masyarakat menurut al Farabi membutuhkan orang yang
mendorong mereka untuk berbuat apa yang diketahuinya dan memberikan pendidikan
dan pengajaran kepada orang yang tidak mengetahuinya, orang yang menjadi
pemimpin bagi asosiasi masyarakat tersebut.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan disini, tidak semua
orang memiliki kapasitas serta seni untuk memimpin ataupun memandu orang lain,
umumnya siapa yang memiliki kapasitas tersebut tidaklah memiliki seni dan
kemampuan untuk membawa serta menasehati orang lain untuk melakukan hal-hal
tertentu, akan tetapi hanya memiliki salah satu dari krateria di atas, tetapi
tidak menutup kemungkinan ada juga orang yang memiliki krateria keduanya. Dalam
hal ini al Farabi mencoba untuk mengklarifikasikan kelompok orang yang akan
memimpin kelompok besar, yang terdiri dari 3 kelompok yaitu: penguasa tertinggi
atau penguasa sepenuhnya, kedua, penguasa subordinat yang berkuasa sekaligus
dikuasai dan yang ketiga adalah yang dikuasai sepenuhnya[5][5].
Dalam pembagiannya ini terlihat memiliki kesamaan dengan pemerintahan ketika
dia hidup, Daulah Abbasiah adalah pusat pemerintahan yang dipimpin seorang
khalifah yang menguasai seluruh Negara lain, kedua pimpinan Negara daerah yang
berada dibawah kekuasaan khalifah yang memimpin pemerintahan pusat yang ketiga
adalah rakyat yang dipimpin baik yang berada dikawasan pemerintahan pusat
maupun yang berada dibawah kepemimpinan khalifah daerah, oleh karna itulah
kondisi sosio-politik kemungkinan ikut mempengaruhi konsep pemimpin yang utama
yang di gagas oleh al Farabi.
Bagi al Farabi
pemimpin tertinggi adalah pemimpin yang benar-benar memiliki berbagai ilmu dan
berbagai jenis pengetahuan. Pemimpin tersebut harus memahami betul apa yang
harus dilakukannya, ia harus dapat membimbing orang dengan baik, sehingga orang
mau melakukan apa yang diperintahkannya, ia juga mampu untuk memanfaatkan orang
yang memiliki bakat atau kemampuan tertentu. Ia bisa menentukan,
mendefinisikan, dan mengarahkan tindakan-tindakan ke arah kebahagiaan. Kesemuaan
krateria pemimpin ini hanya dimiliki oleh orang yang memiliki kecenderungan
alami yang besar dan unggul, dengan menyatukan jiwanya dengan akal aktif
(Tuhan), orang yang seperti itulah pangeran sejati. singkatnya pemimpin
sepenuhnya adalah pemimpin yang sempurna akal, fisik, mental dan jiwanya sedang
pemimpin yang lainnya dibawah kepemimpinannya.
Dalam pandangan al Farabi pemimpin yang sepenuhnya (pemimpin
utama) memiliki kedudukan penting dalam gagasan kota utamanya, fungsi pemimipin
tersebut ibarat jantung bagi tubuh yang menjadi sumber bagi aktifitas, sumber
peraturan dan keselarasan hidup dalam masyarakat, oleh karna itulah ia harus
memiliki persyaratan-persyarataan tertentu sepeti apa yang dikatakan diatas,
serta memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan akal kesepuluh yaitu
pengatur bumi dan penyampai wahyu.
Adapun orang yang menerima wahyu atau mampu berkomunikasi
dengan penyampai wahyu, pada krateria ini memiliki hubungan yang erat dengan
konsep ke-Nabian dan teori akal yang digagasnya yakni orang yang memiliki
imajenasi yang tinggi yang tidak terpengaruh oleh objek indrawi dari luar yang
membuatnya dapat berhubungan dengan akal Fa’al
(akal kesepuluh, Jibril) [6][6], dan jika
kekuatan imajenasi itu telah sempurna maka tak ada halangan baginya untuk
menangkap peristiwa-peristiwa sekarang maupun yang akan datang yang
didapatkannya melalui akal kesepuluh sekalipun dalam keadaan tersadar (bangun
tidak tidur). Melalui akal kesepuluh inilah ia mampu menerima visi dan
kebenaran dalam bentuk wahyu, dengan demikian, maka dalam hal ini Nabi dan para
Filosoflah yang menurut al Farabi paling pantas memangku jabatan pemimpin yang
utama tersebut, adapun para Filosof dapat berkomunikasi dengan Tuhan melalui
akal perolehan (mustafad) yang telah terlatih dan memiliki daya tangkap yang
kuat sehingga sanggup menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal
ke sepuluh.
Nabi mendapatkannya karna penganugrahan akal suci kepadanya
yang merupakan pengkhususan langsung dari Tuhan yang dinamakan al Farabi dengan
Had’s yang merupakan akal terkuat dan
sempurna yang berada jauh lebih tinggi dari pada akal mustafad, akal yang
memiliki daya tangkap yang luar biasa tanpa latihan sedikitpun (laduni,
Ma’rifah) yang diberikan kepada para Nabi oleh karna itulah bagi al Farabi setiap
Nabi adalah Filosof sedangkan tidak setiap Filosof adalah Nabi. Tetapi jika
dilihat dari sisi pengetahuan dan sumbernya antara Filosof dan Nabi memiliki
kesamaan yang menjadikan kebenaran wahyu tidaklah bertentangan dengan
pengetahuan filsafat sebab berasal dari sumber yang sama yakni akal Fa’al
[7][7].
Problem
Kaderitas Kepemimpinan
Al Farabi telah menjabarkan secara
eksplisit tentang krateria pemimpin yang utama akan tetapi yang menjadi
permasalahan disini bukanlah persyaratan-persyaratan yang dikemukakannya,
tetapi adakah orang yang memiliki persyaratan tersebut jika pemimpin yang utama
telah tiada sebagai contohnya Nabi Muhammad? Dalam menyikapi problema kaderitas
kepemimpinan disini al Farabi mengatakan “jika terjadi tidak ada orang (setelah
mangkatnya penguasa utama) yang memenuhi persyaratan seperti ini maka perlu
kiranya diterapkan hukum-hukum yang digariskan oleh penguasa utama sebelumnya,
menuliskannya, melestarikannya, memerintah kota berdasarkan hukum-hukumnya yang
disesuaikan kepada situasi yang baru”.
Lebih lanjut al Farabi mengambarkan kemungkinan adanya
sekelompok orang yang mengajukan diri serta menunjukan kemampuan mereka untuk
memenuhi persyaratan menjadi pemimpin yang utama. Atau bisa juga mengangkat
pemimpin yang berada pada tingkatan kedua (pemimpin yang berkuasa dan dikuasai)
asalkan memiliki kualitas serta mengetahui hukum-hukum yang digariskan penguasa
yang utama dan juga memiliki kebajikan (kearifan) dan pandangan-pandangan yang
sehat sehingga dapat memberikan penafsiran dan penerapan hukum sesuai dengan
situasi yang baru selain itu ia juga memiliki kemampuan persuasive dan
representasi imajenatif. Jika tidak memenuhi persyaratan juga maka para filosof
yang mampu mengikuti, manafsirkan, mengembangkan, dan menetapkan hukum dan adat
yang telah dipatenkan oleh penguasa utama sebelumnya sesuai dengan situasi yang
baru. filosof disini bukan hanya mengerti prihal keagamaan saja tetapi pemimpin
yang memiliki keterampilan politik atau kerajaan yang mampu mengapresiasikan
keduanya secara seimbang dan bersamaan. Al Farabi juga menyatakan “ jikalau
suatu saat tak bisa lagi ditemukan filosof yang dikaitkan dengan krateria
kepemimpinan tersebut, maka selang beberapa waktu tertentu kota yang dibangun
akan musnah” (kehilangan nilai-nilai utamanya).
Kota
Utama Al Farabi
Melalui karyanya yang fundamental
yaitu kota utama, al Farabi membagi kota atau Pemerintahan menjadi lima bagian
besar yang pertama adalah kota utama,
kedua, kota Jahiliyah, ketiga, kota fasiq, keempat, kota sesat, kelima,
kota berubah. Yang dimaksud dengan kota yang utama disini adalah kota yang
dipimpin oleh orang-orang yang utama berupa suatu perkempulan yang bertujuan
untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagiaan, kota yang diperintah oleh
penguasa tertinggi yang benar-benar memilki berbagai ilmu dan segala jenis
pengetahuan.
Mengenai cara kerja kota utama, al
Farabi menyatakan bahwa awalnya penduduknya dibagi menjadi kelompok-kelompok
berdasarkan kelebihan, yang masing-masing diberi kedudukan sebagai yang
diperintah dan memerintah, yang dimulai dengan peringkat penguasa tertinggi
atau penguasa sepenuhnya, seperti apa yang tertulis sebelumnya. Peringkat
tersebut kemudian secara berangsur-angsur turun sampai pada peringkat yang
diperintah, yang sama sekali tidak memiliki elemen memeintah, yang dibawahnya
tak ada lagi peringkat. Dengan memilah-milah kelompok mana atau siapa yang
memiliki pengetahuan dan ilmu yang luas yang kemudian memasukkannya dalam
kelompok terdidik serta dapat dipilih untuk mengemban jabatan politik mewakili
masyarakat yang akan diperintah.
Kota utama ini memiliki tujuan untuk mendapatkan kebahagian,
kebahagian yang diartikan oleh Al Farabi hanya dengan lenyapnya
keburukan-keburukan dari setiap kota-kota yang mengadakan kerja sama. Mengenai
kota utama ini, tampaknya akhlak dari pada pemimpin dan masyarakatnya menjadi
sorotan yang utama bagi Al Farabi, pemimpin yang terpilih yang memiliki
pengetahuan agar mendidik rakyatnya dengan memperkenalkan kebijakan-kebijakan
teoritis dan pengetahuan, karna hanya dengan adanya pemimpin yang utama inilah
dapat kota yang utama dapat terwujud, pemimpin utama ibarat alat vital bagi
lahirnya kota yang utama menurut al farabi.
Tentang kota utama ini al Farabi cenderung menitik beratkan
pada individu masyarakat dan pemimpinannya dengan pemimpin sebagai tolak ukur
bagi Negara yang di pimpin. Lebih lanjut menurut al Farabi, Kota utama ini
hanya akan terwujud dengan dimilikinya pendidikan dan pengetahuan maupun
kebajikan para pemimpin, karna hanya dengan begitulah orang yang di pimpin
menjadi baik serta kebahagiaan akan didapatkan, sebab kebahagiaan adalah dengan
lenyapnya keburukan-keburukan, yang dalam kacamata al Farabi keburukan itu
cenderung kepada aklak dari pribadi pemimpin yang dapat mempengaruhi rakyatnya,
hal ini dapat dilihat dari penjelasannya mengenai kota-kota yang menjadi lawan
bagi kota yang utama. Singkatnya, dengan memperkenalkan pengetahuan dan
kebajikan kepada setiap orang yang ada dalam kota itu sendiri melalui pemimpin
yang utama maka kota yang utama dapat di realisasikan menjadi suatu bentuk
nyata.
Lawan
Kota Utama
Kota utama merupakan suatu kota yang
diidamkan oleh al Farabi akan tetapi bukan dengan demikian tidak ada
konsekwensi lanjut bagi adanya kota utama tersebut dalam artian ada kemungkinan
terburuk yang menjadi lawan dari kota utama. Dalam hal ini tampaknya al-Farabi
telah memperkirakan kemungkinan terburuk tersebut dengan membagi kota menjadi
beberapa bagian, seperti apa yang tertuang dalam tulisan pemakalah sebelumnya.
Adapun mengenai kemungkinan buruk yang merupakan lawan dari kota utama
al-Farabi membagi kota yang merupakan suatu kemungkinan buruk menjadi beberapa
bagian yang diantaranya adalah kota jahiliyah,
lawan bagi kota yang utama, yang dimaksud disini adalah kota yang warganya
tidak mengetahui kebahagiaan yang sebenarnya, karna mengartikan kebahagiaan
dengan segala hal yang secara superficial dianggap baik dan merupakan tujuan
dari pada hidup itu sendiri, seperti kesenangan, kemakmuran, kesehatan tubuh,
kebebasan memenuhi hasrat dll.
Al Farabi membagi kota jahiliyah
menjadi enam bagian: pertama, kota
kebutuhan dasar, kota yang menganggap kebutuhan dasar manusia adalah suatu
kebahagian, bagi mereka orang yang mampu menguasai menejemen untuk mendapatkan
kebutuhan-kebutuhan adalah orang yang pantas dijadikan pemimpin. Kota ini
mengartikan kebahagian dengan terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat
material. Kedua, kota jahat, yaitu
kota kebutuhan dasar dalam tingkat ekstrim, yang penduduknya memandang
kebahagiaan hanya merupakan hal-hal yang material. Ketiga, kota rendah, yaitu kata yang para penduduknya hanya
menuntuk kesenangan-kesenangan belaka yang sekedar berguna bagi kebutuhan hidup
sehari-hari. Keempat, kota
kehormatan, yaitu kota yang hanya memprioritaskan kehormatan dan pujian belaka
dari bangsa-bangsa lain yang tujuannya tak lain hanya ingin mendapatkan
sanjungan belaka. Kelima, kota
kekuasaan, yaitu kota yang haus akan kekuasaan yang mengartikan kebahagiaan
dengan menguasai kota-kota selainnya. Yang terakhir adalah kota demokratik,
kota yang tujuan hidupnya adalah kebebasan, yang penduduk boleh melakukan
segala hal tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya oleh pemimpinnya.
Selain dari pada kota jahiliyah yang
menjadi lawan kota utama ada juga kota lain yaitu kota fasiq, kota yang pada
dasarnya mengetahui pengetahuan, kebahagian sejati, terdidik, akan tetapi
mereka tidak berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya dan di yakininya
sebaliknya mereka malah menghendaki kebahagiaan dengan meraih
kebutuhan-kebutuhan seperti apa yang terjadi di kota jahiliah. Selain itu ada
juga kota sesat, yaitu kota yang memiliki kepercayaan yang keliru tentang
kebahagiaan yang sejati sehingga salah dalam menentukan tujuan tertinggi dari
hidup. Singkatnya kota jahiliyah ini lebih dominan terjadi dalam kenengaraan,
oleh karna itulah konsep kota utama seperti mimpi indah yang sangat menggiurkan
untuk merealisasikannya menurut al Farabi, karna baginya kota utama ibarat
sebuah wadah besar yang di dalamnya menampung kebaikan yang merupakan point
tertinggi yang di istilahkan al Farabi dengan kebahagian sejati.
[3][3]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar. M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)., Pt. Raja Grapindo Persada., Hal: 81
[4][4]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar. M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)., Pt. Raja Grapindo Persada., Hal: 83
[6][6]
Ada tiga jenis akal sebagai daya fikir yang terdapat pada jiwa manusia menurut
al Farabi : 1. akal potensial 2. akal aktual 3. akal mustafad.
[7][7]
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar. M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)., Pt. Raja Grapindo Persada., Hal: 80-81
0 komentar:
Posting Komentar