Muthahari lahir di Faryan, sekitar 120 KM dari Masyad, ibukota propinsi Khurasan, pada tanggal 2 february 1920, setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya ia pindah ke Masyad untuk meneruskan pendidikannya dengan guru-guru yang otoritatif di bidangnya masing-masing.
Pada tahun1936, ia meninggalkan Masyad pergi ke Qum hal tersebut dikarnakan telah wafatnya seorang guru terkenal dalam filsafat islam Mirza Mehdi Sahidi Ravizi, akan tetapi tidak menetap disana. Ia menetap di Qum pada tahun 1937 untuk mempelajari filsafat [1].
Pada tahun 1941 ia pergi ke dari Qum menuju Isfahan untuk mempelajari Nahjul Balagah dengan Hajj Mirza Ali Aqa Syirazi Isfahani, guru yang memiliki otoritas Naskah Syiah. Setahun kemudian tepatnya pada tahun 1945 ia mempelajari sebuah naskah filosofis, Manzhumah (karangan Hajj Mullah Hadi Sabzawardi) bersama dengan ayatullah Khumaini. Pada tahun 1946 ia mulai mempelajari kitab kifayah al ushul, sebuah kitab hukum karangan Akhund Khurasani bersama dengan Ayatullah Khumaini. Pada tahun 1949 ia mulai mengkaji al asfhar al arbaah karangan Mullah Shadra. Pada tahun berikutnya tepatnya 1950 ia lebih giat lagi mendalami filsafat Marxis dengan tujuan untuk dibantahnya kemudian, bacaannya tersebut didapatkannya melalui terjemahan Persia karya Goerge Pulizer yang berjudul Introduction to philosopy serta aktif dalam mengikuti kegiatan diskusi bersama al Alamah Thabathabai setiap kamis [2].
Pada tahun 1954 ia mulai mengajar di fakultas teologi di Tehran University, kemudian aktif dalam organisasi masyarkat religius bulanan serta menerbitkan majalah bulanan sejak menjelang awal tahun 60-an. Muthahari sempat dicekal tepatnya ketika terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh imam Khumaini pada Juny 1963, sehingga majalah yang diterbitkan oleh ke-organisasiannya sempat dilarang beredar, akan tetapi pencekalan ini hanya sebentar. Pada tahun 1965 ia turut andil dalam pembuatan Husyeiniyah Ershad, sebuah organisasi religius yang didirikan secara pribadi.bangkitnya gerakan Revolusi pada 1977-1979, Muthahari adalah sosok satu-satunya wakil di Iran yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan serta menyalurkan zakat karna pengasingan Khumaini dan pada waktu yang bersamaan pula ia memberi kuliah serta menulis tentang isu-isu keagamaan dan sosial. Ia wafat karna terbunuh pada tanggal 1 Mei 1979, beberapa saat setelah kemenangan revolusi Iran. Tulisan-tulisannya antara lain : Ushul-e falsafah, manusia dan nasibnya (1966), layanan timbal balik antara Iran dan Islam (1967), pertolongan Ghaib dalam kehidupan Manusia (1969) dan lain-lain.
Filsafat serta peran Ideologisnya
Muthahari adalah sosok yang memiliki kecenderungan yang kuat dalam filsafat, tentu saja filsafat yang dimaksud disini adalah filsafat Islam. Baginya filsafat bukan hanya suatu cara berfikir maupun cara menemukan suatu kebenaran semata filsafat baginya merupakan suatu senjata idiologi yang ampuh untuk menghadapi rudal-rudal sekulerisasi yang menyebar cepat ketika itu, pada masanya. Begitu pentingnya kedudukan filsafat dimatanya membuatnya bekerja keras untuk membangkitkan kembali tradisi filosofis, Muthahari percaya bahwa filsafat merupakan Prioritas yang utama dalam sekala makna di seluruh cabang ilmu pengetahuan [3]selain sebagai senjata ampuh ideologis lebih lanjut menyatakan bahwa filsafat bukanlah suatu hak istimewa kaum barat seperti apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang secara langsung maupun tak langsung menyatakan bahwa filsafat merupakan suatu lingkup khusus yang sering menjadi wacanan menarik dalam ideologi barat. Akan tetapi perlu diketahui disini Umumnya Muthahari mempelajari filsafat untuk memerangi ide-ide yang ditularkan barat kedalam tubuh islam.
Lebih lanjut Muthahari mengatakan serta mempercayai bahwa Yunani Kuno yang menjadi lambang bagi filsafat barat memperoleh awal keberhasilannya melalui dunia Timur pada abad-abad sebelumnya banyak para pemikir barat yang hijrah berulang kali ke dunia Timur untuk mempelajari pemikiran-pemikiran yang ada di Timur yang kemudian mereka sebarkan di Barat sepulangnya dari Timur, pernyataannya ini mendapatkan dukungan dari sejarah Islam klasik, pernyataannya yang senderung Diskriminatif terhadap barat bukan karna nafas ingin memojokan akan tetapi berorentasikan pada umat islam sendiri agar menyadari bahwa bukan hanya Barat yang memiliki filsafat saja, akan tetapi Timur juga khususnya agama islam yang umumnya berdomisili di Timur.
Mengenai filsafat Islam Muthahari menyebutkan tentang adanya Dua Tradisi besar Filsafat dalam islam lain halnya dengan Sayyid Husein Nasr yang menyatakan ada Tiga Madzhab Utama dalam filsafat Islam, dua Tradisi tersebut menurut pandangan Muthahari adalah Tradisi Paripatetik yang pertama, yang dimulai dari Ibnu Sina atau dikenal diBarat dengan Avecina, sedang yang kedua adalah tradisi Illumionis yang diwakili oleh Suhrawardi al Maqtul. Yang pertama cenderung menekankan Keutamaan Wujud (Ashalah al Wujud) sedang yang kedua cenderung menekankan pada Keutamaan Esensi (Ashalah al Mahiyah) atau praktisnya lebih dikenal dalam kata modern dengan eksistensialis dan esensialis [4].
Menurut Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya Nalar Religius terbitan Erlangga, ia menyatakan bahwa jika berbicara tentang metode filosofis atau ilmiah dalam kamus islam menurutnya, Muthahari membedakannya menjadi tiga macam 1. metode deduktif yang diilhami filsafat paripatetik yang sering digunakan oleh filosof-filosof muslim 2. metode illuminasionis yang diwakili oleh Suhrawardi sedangkan yang ke 3. adalah metode Irfani yang umumnya digunakan para kaum sufi.
Tentang Tuhan
Sebelum kita memasuki bahasan tentang manusia perlu kira kita mengetahui tentang Tuhan yang merupakan Wujud Murni, yang menyebabkan keberadaan alam dan manusia yang tinggal di alam tersebut. Sebelum Muthahari sendiri telah banyak para filosof yang telah membuktikan tentang adanya alam seperti Ibnu Sina yang membuktikan keberadaan Tuhan dengan Wujud Imkan atau seperti Al Kindi dengan dalil Khudus atau Burhan Shiddiqqin seperti apa yang dikemukakan oleh Shadra, dari beberapa argumentasi diatas tampaknya dalil yang lebih cenderung kuat menurut Muthahari adalah dalil terakhir yang digunakan oleh Shadra akan tetapi yang menjadi pertanyaan disini apakah Muthahari memiliki argumentasi sendiri yang berbeda dengan yang lain untuk membuktikan keberadaan Tuhan ?
Jawabannya adalah “ya”, Muthahari bersama gurunya al Alamah Thabataba’i memiliki argument sendiri untuk membuktikan keberadaan Tuhan yaitu dengan menggunakan “metode realistik” atau “realisme instinktif” yang didasari pada fitrah menusia yang menjadi ciptaan Tuhan. Thabatabai berpendapat bahwa dengan adanya fitrah pada diri manusia menimbulkan suatu kesadaran bahwa ia dan alam yang melingkupinya adalah wujud yang nyata, bukan khayalan belaka, walaupun begitu keduanya bukan berarti wujud yang tak berubah dan hancur, yang membuat manusia dan alam mau tidak mau harus bergantung kepada suatu wujud yang tetap. Keberadaan antara alam dan manusia dapat dipertahankan jika masih berhubungan dengan wujud yang tetap tersebut, oleh karna itulah manusia terdorong oleh fitrahnya untuk mencari sebab dari setiap peristiwa ataupun kejadian yang dialaminya. Berdasarkan kesadaran akan wujud dari pada manusia dan alam itu sendiri maka haruslah memiliki sandaran yang menjadi sumber wujud, sumber kekuasaan serta sumber pengetahuan yang tak terbatas, dan keberadaan Tuhan adalah jawaban atas sandaran yang dicari oleh manusia. Muthahari sendiri memiliki argumen yang menyerupai pernyataan gurunya walau cara pengungkapannya sedikit berbeda [5].
Mutahari memandang bahwa manusia ketika mengamati keadaan alam sekitar melalui indra, ia akan menemukan karakteristik dari alam yang di pandangnya diantaranya adalah : 1.keterbatasan 2. perubahan 3. ketergantungan 4. keterbutuhan pada yang lain 5. relativitas dll. Akan tetapi kekuatan nalar manusia yang berada pada lingkup yang berbeda dengan indra tidak akan merasa puas akan penampakan yang diberikan indra sehingga membuat cahaya akal dapat menembus apa yang ada dibalik hijab wujud, nalar dari akal tersebut akan menyatakan bahwa “wujud tidak bisa hanya sebatas pada fenomena yang terbatas, berubah, relatif dan kondisional begitu saja. Bangunan semesta yang besar tidak dapat berdiri sendiri oleh karna itulah harus ada suatu realitas tetap dan tak terbatas yang menjadi penopang bagi keberadaan semesta dan makhluk yang ada didalamnya. Jika tidak ada maka tidak mungkin bangunan sebesar ini dapat bertahan sejauh ini, maka yang ada hanyalah suatu ketiadaan semata, oleh karna itu harus ada realitas yang serba maha yang tidak bergantung kepada siapapun sebagai penopang bagi keberadaa alam dan segala yang ada didalamnya.
Tentang Manusia
Muthahari berpandangan bahwa manusia merupakan evolusi terakhir oleh karna itu Manusia sebagai makhluk, memiliki karakteristik yang khas atau khusus yang membuatnya berbeda dengan makhluk yang lainnya yang ada di dunia, ia tidak puas dengan jawaban para Filosof Barat tentang manusia, apakah yang membedakan manusia dengan Hewan? kaum Rasionalis yang dipelopori oleh Descretes menyatakan bahwa yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya adalah Tabiat Rasional yang dimilikinya, lain kiranya dengan kalangan Eksistensialis yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran, maka kesadaran akan keberadaannya itulah yang membedakannya dengan binatang, lain halnya juga dengan kaum Psikologi Humanistik yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang Bertanggung Jawab, maka tanggung jawabnyalah yang membuatnya berbeda dengan makhluk lainnya, jawaban yang banyak yang diuraikan para filosof barat tidak cukup mememuaskan bagi sosok Muthahari bahkan ia malah mematahkan teori-teori yang telah dikemukakan para Filsosof Barat tersebut, dan menjawab pertanyaan tersebut dalam presfektif religius karna baginya merupakan suatu solusi yang tepat [6].
Ia memandang bahwa dalam diri manusia terdapat sifat kehewanan dan kemanusian, oleh karna itulah baginya karakteristik yang khas dari Manusia adalah Iman dan Ilmu. Ia mempunyai kecenderungan untuk menuju kearah kebenaran-kebenaran dan memuja sesuatu, akan tetapi disisi lain ia juga cenderung untuk memahami alam semesta, oleh karna itu sebenarnya letak terpenting dan mendasar dalam perdebatan tentang perbedaan manusia dengan makhluk yang lainnya adalah pada Iman dan Ilmu.
Baginya pemisihan dua karakter tersebut akan menurunkan martabat manusia, iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme dan kemunduran, Takhayul serta kebodohan, sebaliknya Ilmu tanpa iman akan mengarah kepada kerakusan, ambisi, penindasan, maupun kecurangan. Muthahari menegaskan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang memadukan Iman dan Ilmu. dari sini kita dapat melihat jelas bahwa Muthahari mengartikan manusia dengan jalan religius atau lebih tepatnya mengkedepankan ajaran agama Islam, melalui ajaran agama islam oleh karna itulah Jalaluddin Rakhmat lebih memandang tokoh ini sebagai sosok Ulama bukan Filosof, karna kebanyakan pandangannya mengarah kepada faham keagamaan. lain halnya dengan Mulyadhi Kartanegara yang menyatakan Muthahari sebagai sosok yang memiliki minat yang tinggi terhadap Filsafat dalam tinjauan historis kehidupannya.
Akan tetapi sayangnya dogma agama tidaklah ditekankan oleh kebanyakan para pemikir Barat, ada yang menganggapnya hanyalah suatu produk kebodohan ada pula yang menganggapnya produk rasa takut, maupun pendambaan akan keadilan dan keteraturan yang dijadikan sebagai solusi untuk menentramkan jiwa yang kelak akan hilang seiring berkembangnya modernisasi seperti yang terjadi Barat pada umumnya, hal ini terbukti dengan adanya beragam hipotesis dari pemikir Barat seperti Hipotesis kaum Marxis yang menyatakan bahwa agama diwujudkan hanya untuk mempertahankan kedudukan para kelas atas, atau seperti Hipotesis Freud yang menyatakan agama sebagai Naluri yang terkekang sehingga terkadang membatasi kebebasan manusia dll [7].penggusuran Nilai-nilai keagamaan inilah yang terkadang harus disadari oleh dunia barat agar mampu untuk memahami sesuatu tanpa bertepuk sebelah tangan tidak hanya sekedar pada nalar pengetahuan maupun pemikiran saja.
Keistimewaan Manusia
Manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kesamaan dengan hewan, akan tetapi walau demikian ada perbedaan yang cukup jelas antara manusia dan binatang, uniknya perbedaan tersebutlah yang merupakan suatu keistimewaan tersendiri bagi manusia. Manusia dan hewan pada dasarnya memilki hasrat dan tujuan, keduanya sama-sama berjuang untuk meraih tujuan hidupnya masing-masing yang didukung oleh kadar pengetahuan dan kesadarannya akan suatu hal yang menjadi tujuannya, akan tetapi pengetahuan dan kesadaran antara manusia dan hewan memiliki tingkat dimensi yang berbeda, entah dalam pengetahuan maupun apa yang menjadi tujuan kedua makhluk tersebut (Manusia dan Hewan).
Kesadaran yang ada pada binatang tidaklah melibatkan kesadaran akan adanya suatu esensi atau apa yang menjadi seluk-beluk dari objek kesadaran itu sendiri, kesadaran tersebut lebih bersifat temporer dalam artian hanya sebatas pada masa dimana ia hidup sekarang akan tetapi terputus dari pada masa hidup yang sebelumnya, dan juga kesadaran yang dimiliki oleh binatang bersifat regional dengan kata lain hanya sebatas lingkup jenis binatang itu sendiri. Lain halnya dengan manusia yang mampu melampaui batasan-batasan yang ada pada dirinya, serta mampu untuk memahami apa yang ada diluar maupun didalam dirinya atau singkatnya kesadaran yang ada pada manusia tidak berkarakteer regional .
Kemampuan manusia yang tak terbatas inilah yang membuatnya berada pada tingkat hieraki yang lebih tinggi dibanding binatang, kecenderungan mereka untuk menuju kepada kebaikan serta kemampuan untuk menangkap sesuatu yang immaterial merupakan fitrah dari pada manusia itu sendiri. Pengetahuan manusia serta kecenderuangannya kepada sisi spiritual yang menjadi ciri yang khas bagi manusia, oleh karna itulah Muthahari memandang bahwa bahwa yang membedakan manusia dan hewan adalah pengetahuan dan keimanannya.
Dengan pengetahuan manusia bisa menyelesaikan segala problematika yang ada didalam dan diluar dirinya mampu untuk menemukan tujuan hidupnya serta mengetahui esensi dari segala yang tampak, dengan pengetahuan yang luas ini haruslah diimbangi dengan keimanan agar terarah kepada tindakan moral yang terpuji bukan untuk memanipulasi atau hal-hal buruk lainnya. Keimanan ini juga berfungsi untuk menahan ambisi pribadinya yang membuat mereka tidak peduli akan keberadaan orang lain, keimanan ini juga mengajarkan tentang bagaimana manusia bertingkah laku terpuji bermoral serta bersahabat dengan selainnya.
Selain dari apa yang disebutkan diatas menurut Muthahari yang berlatar belakang Syi’ah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melakukan atau memilih sesuatu dan mencapai tujuannya, manusia tidaklah terkekang oleh takdir, takdir yang dituliskan oleh Tuhan tidaklah memunculkan keterkekangan menurtut Muthahari, akan tetapi membentuk suatu Sistem serta dan serangkaian Norma dan Hukum. Oleh karna itulah kapan seorang manusia mencari atau ingin melakukan suatu hal dia harus mencari atau melakukan sesuai dengan sistem maupun norma dan hukum-hukum tadi. Oleh karna itulah rezki maupun dari tangan Ilahi, manusia tetap memiliki kewajiban untuk berusaha mencarinya dengan cara yang tidak betentangan dengan sistem, Hukum maupun Norma yang telah ditetapkan oleh Tuhan [8].
Manusia Multi Dimensi
Bertitik tolak dari keistimewaan manusia yaitu pengetahuan dan iman, Muthahari mengatakan bahwa manusia dalam dirinya memiliki dua potensi besar yang merupakan unsur terpenting dari manusia itu sendiri yaitu akal dan iman, akal memiliki bentuk aktual yaitu pengetahuan, sedangkan keimanan membentuk suatu dimensi spiritual manusia. Dengan akal pikirannya inilah manusia manusia mendapatkan cara untuk memahami alam sekitarnya, memahami diri mereka esensi dari semua yang maujud dll, yang kesemuaannya bersifat fisik yang mampu dijangkau oleh daya indrawinya, selain dari apa yang disebutkan diatas manusia dalam kehidupannya juga banyak menangkap pesona-pesona lain yang memandu mereka kepada suatu bentuk non-material yang tak dapat diukur oleh ukuran indrawi, yang mengarahkan mereka kepada sesuatu yang serba lebih dari pada kemampuan mereka.
Dua kemampuan atau potensi ini mencakup ruang lingkup kehidupan manusia seluruhnya, apakah hal tersebut dari segi kesenian dan keterampilan manusia itu ataupun dari sigi moral dan material yang menjadi objeknya, potensi ini adalah akal dan iman dari dua potensi inilah manusia memahami dimensi lain didalam maupun diluar dirinya, Muthahari mengkarifikasikan dimensi tersebut menjadi lima bagian, yaitu : pertama : Dimensi Manusia yang berada pada lingkup rasional, kedua : Dimensi Teologi yang merupakan fitrah dari manusia itu sendiri yang membutuhkan sandaran kepada sesuatu yang serba lebih (Tuhan), ketiga : Dimensi Kesenian yang juga fitrah manusia yang cenderung menyukai keindahan, keempat : Dimensi Moral yang menuntun manusia kepada sikap yang santun serta semua yang mengarah kepada kebaikan dalam ruang lingkup fisik, ketiga : Dimensi Material yang merupakan kebutuhan manusia akan suatu hal yang bersifat fisis seperti teman, istri, makanan dll. Semua dimensi tersebut didasari atas fitrah dari pada manusia itu sendiri yang didapatkan lewat dua potensi besar yang telah menjadi bagian darinya (manusia). Inilah yang dimaksud oleh Murthadha Muthahari tentang manusia yang merupakan makhluk multi dimensi atau makhluk yang mampu memahami dimensi-dimensi bahkan berada dalam dimensi tersebut baik yang ada didalam maupun diluar diri manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka
http://icac.Indonesia.org.
Kartanegara. Mulyadhi., Nalar Religius (Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia)., Erlangga, Jakarta 2007.
Muthahari. Murthadha., Membumikan Kitab Suci, Manusia dan Agama., Mizan Media Utama, Bandung.
Muthahari. Murthadha., al Fitrah, terj. Arif Muhammad, Jakarta : PT. Lentera Basritama, 1998
0 komentar:
Posting Komentar