Rabu, 02 Oktober 2013

Islam dalam Pengetahuan

Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi term yang popular dikalangan intelektual muslim, di Indonesia maupun di Negara-negara lain. Di Amerika tema ini merupakan suatu symbol dari sebuah keinginan besar untuk memberikan corak keIslaman pada berbagai disiplin Ilmu.
Gagasan Islamisasi ilmu ini melahirkan banyak tanggapan yang beragam dari kalangan intelektual Islam, banyak yang mendukung dengan berbagai alasan tetapi tidak sedikit yang juga menyikapinya secara kritis atau bahkan menolak dengan argumentasi yang bermacam-macam.

PENGERTIAN

            Para tokoh yang bergelut dalam gagasan ini memiliki pengertian sendiri tentang istilah ini, sesuai dengan latar belakang maupun keahlian masing-masing. Menurut S.H. Nasr, Islamisasi ilmu lebih merupakan suatu upaya untuk menerjemahkan pengetahuan modern kedalam bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat muslim dimana mereka tinggal dalam artian Islamisasi tersebut lebih merupakan suatu usah untuk mempertemukan cara berfikir dan bertindak masyarakat Barat dan Muslim.

            Sejalan dengan hal diatas Hanna D.B, seorang pakar psikologi dari Universitas Indonesia, Jakarta, mengartikan Islamisasi ilmu lebih kepada suatu upaya untuk menghubungkan kembali antara ilmu pengetahuan dan agama. Sedangkan Naqib Alatas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Islamisasi ilmu disini adalah upaya untuk membebaskan ilmu pengetahuan dari makna, ideologi, dan prinsip-prinsip sekuler sehingga membentuk ilmu pengetahuan yang baru yang sesuai dengan fitrah Islam. Berbeda dengan Nasr, Islamisasi ilmu baginya lebih kepada perubahan ontologism dan epistemologis[1].

            Berbeda dengan al Faruqi yang mengartikan bahwa Islamisasi ilmu adalah mengIslamkan disiplin-disiplin ilmu atau tepatnya menghasilkan buku-buku pegangan di perguruan tinggi dengan menuangkannya kembali disiplin-disiplin ilmu modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis terhadap kedua system pengetahuan, Islam dan Barat. Berdasarkan dari beberapa pengertian diatas tentang yang dimaksud dengan istilah Islamisasi ilmu disini adalah suatu upaya untuk membangun paradigma keilmuan baik pada aspek ontologism, epistemologis atau aksiologisnya dengan dilandasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam.

SEJARAH

            Upaya untuk melakukan Islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber, pertama kali diangkat oleh Sayyed Husein Nashr dalam beberapa karyanya yang ditulisnya sekitar tahun 1960-an. Saat itu Nashr mengatakan dan mencoba untuk membandingkan antara metodelogi ilmu-ilmu keIslaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika, dan metafisika. Baginya apa yang dimaksud dengan ilmu dalam Islam tidak ada bedanya dengan ‘scientia’ dalam istilah latin, yang membedakan keduanya hanyalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu keIslaman tidak hanya memakai metodelogi rasional dan cenderung positivistic, melainkan menerapkan beberapa metodelogi lainnya seperti tekstual (Bayani) maupun intuitif, tergantung pada objek yang sedang dikaji.

            Beberapa tahun kemudian gagasan tersebut dikembangkan dan diresmikan sebagai proyek Islamisasi ilmu oleh Muhammad Naquib Alatas, tahun 1977, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakannya pada tahun 1978 yang terus ia geluti hingga tahun 1980. baginya Islamisasi ilmu tidak hanya dengan mempertemukan keduanya melainkan perlu adanya rekonstruksi ontologis dan epistemologis, karna dari sisi inilah keilmuan lahir. Adapun cara untuk merubah cara pandang Barat yang sekuler adalah denganapa yang disebut Islamisasi bahasa sebab semua bermula dari pikiran dan perubahan pikiran pararel dengan perubahan bahasa[2].

            Gagasan Islamisasi ilmu ini ternyata mendapatkan sambutan yang luar biasa dari para intelektual muslim dunia. Oleh karna itulah pada tahun 1977 diadakan konferensi internasional pertama tentang Islamisasi ilmu ini di Swiss, untuk membahas lebih lanjut tentang ide Islamisasi tersebut. Konferensi ini dihadiri oleh 30 partisan yang secara bersama-sama berupaya menyelusuri penyebab terjadinya krisis dikalangan umat Islam dan bagaimana cara mengatasinya. Adapun solusi yang disepakati ketika itu adalah mencari pendekatan secara sistematis dan mencari metodelogi yang tepat untuk membangun system pengetahuan Islam yang mandiri sebagai fondasi peradaban Islam. Konferensi yang pertama ini ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar bagi para ilmuan muslim dunia. Di Amerika gerakan Islamisasi ilmu tersebut disambut hangat yang kemudian dipelopori oleh Ismail Raji al Faruqi, sehingga didirikanlah sebuah perguruan tinggi IIIT (International Institute of Islamic Tough) pada tahun 1981 di Washington D.C.

Perguruan tinggi ini bertujuan untuk meningkatkan pandangan Islam yang Universal dalam mengkaji dan memperjelas permasalahan global dalam Islam, kedua berusaha untuk mengembalikan kembali jati diri intelektual dan cultural umat Islam lewat usaha Islamisasi ilmu, kemanusiaan dan sosial, dan meneliti serta memahami secara mendalam pemikiran kontemporer dalam dunia Islam yang kemudian berupaya untuk pencarian solusinya, ketiga, mengembangkan pendekatan yang Islami terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan dengan cara yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer bagi cita-cita Islam dan manusia, keempat menghidupkan pemikiran Islam dan mengembangkan metodeloginya dan berupaya untuk menghubungkannya dengan tujuan syariah, kelima, mengadakan penelitian langsung dalam bidang-bidang yang berbeda sehingga mampu untuk memproduksi buku-buku teks yang menjelaskan visi dan misi serta meletakan dasar bagi disiplin ilmu-ilmu Islam dan tentang kemanusiaan, keenam, mengembangkan SDM yang mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut[3].

Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1983, diadakan kembali konferensi ketiga di Islamabad, Pakistan untuk menindak lanjuti konferensi pertama. Konferensi kedua ini mempunyai dua tujuan : pertama. Mengekspos hasil-hasil konferensi pertama serta rumusan-rumusan yang telah dihasilkan oleh IIIT tentang cara mengatasi krisis dikalangan umat. Kedua. Mengupayakan suatu penelitian dalam rangka mengevaluasi krisis tersebut, serta mencari penyebab maupun gejalanya[4].

Menurut IIIT, factor yang menyebabkan terjadinya krisis pemikiran yang berkepanjangan dikalangan umat Islam adalah :

a.                           serangan dari Budaya Barat, terutama pada ilmu-ilmu sosial dan humanoria yang dikembangkan atas dasar ontologis yang sekuler yang tidak mengakui wahyu sebagai salah satu sumber keilmuan.

b.                           Adanya jarak atau pemisah antara seorang intelektual muslim dengan khazanah Islam sendiri, kerna pada umumnya mereka lebih banyak mengadopsi serta meniru secara buta pola pendidikan dan keilmuan Barat tanpa mau merujuk pada literature tradisional Islam yang sangat berharga.

Setelah konferensi II menyusul konfrensi III yang diadakan pada tahun 1984 di Kuala Lumpur, Malaysia yang diseponsori kantor Mentri Olah Raga dan Budaya Malaysia. Konferensi ini bertujuan untuk mengembangkan rencana reformasi landasan berfikir umat Islam dengan mengacu secara lebih spesifik kepada metodelogi dan prioritas masa depan dan mengembangkan skema Islamisasi masing-masing disiplin ilmu. Oleh karna itulah makalah-makalah yang disajikan meliputi disiplin ilmu ekonomi, sosiologi, psikologi, antropologhi, ilmu politik, hubungan internasional dan filsafat yang dikupas secara kritis dan dievaluasi manfaatnya untuk kesejahteraan umat manusia yang kemudian diberi saran-saran untuk proyek Islamisasi[5].

Tiga tahun setelah konferensi ke III diadakan kembali Konferensi ke IV tepatnya pada tahun 1987 di Khortum, Sudan. Konferensi yang bertemakan metodelogi pemikiran Islam dalam Islamisasi ilmu-ilmu etika dan pendidikan. Tema ini membahas tentang persoalan metodelogi yang merupakan tantangan dan hambatan utama bagi terlaksananya program Islamisai ilmu ini, sebaba beberapa pakar muslim yang berlatar belakang pendidikan Barat ternyata tidak mampu untuk menyajikan evaluasi dan kritik mendalam terhadap penguasaan ilmu mereka sendiri sehingga mereka kurang siap untuk memberikan kontribusi positif bagi pemikiran dibidang etika dan pendidikan[6].

Islamisasi (Pemikiran Naquib Al Attas)

            Gagasan Naquib tentang Islamisasi bahasa pada dasarnya hanya merupakan suatu respon intelektualnya atas efek ilmu modern (Barat) yang ia nilai negatif yang semakin banyak dirasakan oleh masyarakat dunia, yang merupakan akibat dari krisis dalam ilmu modern, yakni tentang konsepsi realitas yang merembet pada persoalan epistemologis, seperti sumber ilmu pengetahuan, hubungan antara idea dan realitas, tentang kebenaran, permasalahan bahasa dll, yang umumnya menyangkut persoalan tentang pengetahuan.

            Naquib memandang bahwa pandangan dunia Barat bersifat dualistik yang merupakan akibat dari peleburan histories dari berbagai kebudayaan dan nilai-nilai yang terhimpun dalam peradaban Barat. Yakni peleburan dari berbagai peradaban, nilai, filsafat dan aspirasi Yunani, Romawi kuno dan perpaduannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen yang kemudian dikembangkan lebih jauh oleh rakyat Latin, Jermania, Keltik serta Nordik yang pada akhirnya juga dirasuki oleh semangat rasional dan ilmiah Islam, yang kemudian dibentuk dan dipolakan sesuai dengan kebudayaan Barat, ia di padukan dan dilebur dengan segala unsur yang ada di Barat yang pada akhirnya membentuk watak peradaban Barat secara tak langsung[7].

Sumber dan Metode Pengetahuan

            Naquib menyatakan bahwa baginya pengetahuan datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga sebenarnya pengetahuan yang dimiliki oleh manusia adalah tafsiran dari pengetahuan dari Tuhan. Dengan pernyataan ini maka pengetahuan menurut Naquib adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan ke dalam jiwa manusia, atau dengan kata lain pengetahuan adalah sampainya jiwa pada makna sesuatu objek pengetahuan[8]. Dengan pandangannya ini maka bagi Naquib objek dari pengetahuan bukanlah tentang ada-nya melainkan makna dari ada-nya atau makna dari realitas objek artinya subjek atau manusianya lebih memiliki peranan dan menentukan apa yang ada pada objek, makna objek itu sendiri ada dalam presepsi manusia bukan dalam diri objek itu sendiri.

            Untuk menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna dari objek pengetahuan, manusia harus menggunakan fakultas-fakultas yang dimilikinya yakni dengan indra yang sehat, akal sehat dan intuitif. Indera sehat disini mengacu kepada pengamatan dan presepsi lima indera lahir yakni perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihatan, pendengaran yang keseluruhannya berfungsi untuk mempresepsi hal-hal particular di alam lahir. Terkait tentang panca indera lahir ini tedapat lima indera batin yang secara batiniyah mempresepsi citra-citra indrawi dan maknanya, menyatukan ataupun memilahkan, mangkonsepsi gagasan tentangnya, menyimpan hasil-hasil pencerapan serta melakukan interaksi terhadapnya.

            Kelima indera batin tersebut adalah indera umum, representasi, estimasi, pengingat kembali dan imajenasi. Tentang hal ini yang dipresepsi adalah rupa (form) dari objek lahiriyah, yakni representasi realitas atau indrawi, bukan realitas itu sendiri. Apa yang disebut realitas lahir atau objek lahir adalah sesuatu yang di abstraksikan oleh indera, yang dalam hal ini Naquib mengistilahkannya dengan rupa (form), yang bukan merupakan realitas yang sesungguhnya dalam dirinya sendiri yang disebut dengan makna. Perbedaan antara rupa dan makna objek-objek indrawo adalah bahwa rupa merupakan apa yang pertama kali dipresepsi oleh indera lahir baru setelah itu oleh indera batin sedangkan makna adalah apa yang di presepsi indera batin dari objek indrawi tanpa terlebih dahulu dipresepsi oleh indera lahir.

            Mengenai akal sehat yang dimaksud oleh Naquib disini adalah substansi ruhaniyah yang melekat dalam organ ruhaniyah pemahaman yang di sebut dengan hati yang menjadi wadah bagi terjadinya intuisi. Adapun mengenai intuisi itu sendiri adalah pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan yang terus mengarah kepada yang lebih sempurna (kebenaran yang lebih tinggi), yang dalam tingkat tersebut tidaklah semua orang dapat memilikinya akan tetapi hanya orang yang telah menjalani hidupnya dengan mengalami kebenaran agama melalui praktek pengabdian kepada Tuhan secara ikhlas. Intuisi ini datang kepada orang yang dengan pencapaian intelektualnya telah mengalami hakikat keesaan Tuhan. Intuisi ini datang pada orang yang merenungkan terus menerus hakikat realitas, yang selama perenungan tersebut dan dengan kehendak-Nya,  kesadaran akan dirinya dan kesadaran subjektifnya terhapuskan, yang kemudian masuk kedalam kedirian yang lebih tinggi, Baqa dalam Tuhan. Setelah ia kembali kepada kesadaran manusiawi dan subjektifnya yang bersangkutan kehilangan apa yang ditemukan tetapi pengalaman ruhani yang dialami selam baqa tadi, tetap dalam dirinya[9].

Islamisasi Bahasa

Islamisasi bahasa Yang dimaksud Naquib adlah Islamisasi konsep-konsep tentang pandangan dunia realitas dan epistemologi yang bertujuan untuk mengimbangi pandangan dunia dan epistemologi Barat, artinya diperlukan pengIslaman bahasa yang harus berjalan seiring dengan Islamisasi konsep atau pikiran, karna Islamisasi yang ada dalam konsep atau teori tidaklah mungkin dapat dipahami tanpa adanya perubahan-perubahan bahasa atau term-term yang dikenal dalam pemahaman dan pemikiran Islam. Bahasa dan pemikiran ataupun teori adalah dua hal yang berjalan seiring dan saling mempengaruhi.

Disamping itu menurutnya saat ini telah banyak terjadi perusakan-perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagian besar merupakan bagian dari sekulerisasi atau lewat modernisasi tanpa disadari sepenuhnya oleh pelakunya. Perusakan bahasa secara tak langsung berarti perusakan atas pandangan dunia metafisika muslim pengguna bahasa tersebut, karna bahasa inilah yang membentuk jaringan konseptual yang mewakili pandangan dunia muslim, karna itulah perlu kiranya mengadakan reIslamisasi bahasa-bahasa tersebut. Dalam hal ini Naquib mencoba untuk membuktikan bahwa pada dasarnya cara pandang dunia (metafisika) muslim dalam serta sosialisasi konsep-konsep al Quran, pada awalnya dimulai dari Islamisasi bahasa, termasuk juga bahasa arab. Salah satu contoh adalah kata karim yang pada masa jahilliyah berarti kemuliaan garis keturunan yang berkaitan dengan kedermawanan, sehingga kata tersebut menjadi lawan bagi kata Bakhl, yang kemudian terjadi perubahan makna ketika datangnya Islam melalui al Quran yang mengganti kata tadi menjadi kemuliaan yang berdasarkan taqwa dan bukan garis keturunan sehingga menghasilkan suatu medan semantic yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya[10].

Al Quran juga sunnah secara langsung maupun tak langsung telah mengubah struktur konseptual istilah-istilah kunci jahilliyah secara radikal, sehingga membuat suatu perombakan semua medan simantik jahiliyah. Yang kemudian lambat laun menghapus jaringan konseptual yang sebelumnya (jahiliyah) yang berganti dengan konseptual-konseptual baru yang khas Qurani. Proses Islamisasi ini juga terjadi pada bahasa-bahasa Islam didaerah lain, bahasa non Arab, seperti bahasa Turki, Persia, Melayu ketika para Da’I datang untuk mendakwahkan Islam bahasa Qurani mampu menjadi medium pengungkapan metafisika Islam, itu artinya perkembangan pemikiran Islam dimulai dengan adanya proses Islamisasi bahasa, karna kata-kata kunci bahasa merupakan suatu medium terpenting dalam mengungkapkan pemikiran dan pandangan dunia mistik muslim.

[1] A. Khudori Sholeh. M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam., Pustaka Pelajar Yogyakarta., Hal: 239

[2] Naquib. Alatas., Konsep Pendidikan dalam Islam., Mizan, Bandung 1987., Hal: 26

[3] Jamal. Barzinji., Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan., Malang, 1998., Hal: 59

[4] Muhammad. Imarah., Karakteristik Metode Islam., Jakarta, 1994., hal: 49

[5] Jamal. Barzinji., Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan., Malang, 1998., Hal: 49-50

[6] A. Khudori Sholeh. M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam., Pustaka Pelajar Yogyakarta., Hal:244

[7] Ibid., Hal: 253-254

[8] Naquib. Alatas., Konsep Pendidikan dalam Islam., Mizan, Bandung 1987., Hal: 42-43

[9] A. Khudori Sholeh. M. Ag., Wacana Baru Filsafat Islam., Pustaka Pelajar Yogyakarta., Hal: 261-263

[10] Ibid., Hal: 264

0 komentar:

Posting Komentar

Cute Purple Pencil