Rabu, 02 Oktober 2013

Kajian sekilas Metafisika


Metafisika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “metaphysica” yang berarti “meta ta physica”, meta berarti setelah atau melebihi sedang  physica berarti physicos yang berarti tentang alam atau physic yang berarti alam.
Adapun mengenai istilah metafisika itu sendiri muncul pada era Neo-Platonis, akan tetapi mengenai konsep tentang metafisika itu sendiri telah ada jauh sejak abad ke 4 SM, pasca Aristoteles[1][1]. Gagasan tentang Metafisika pertama kali berawal dari tanah Yunani yang di ploklamirkan oleh tokoh yang bernama Aristoteles yang di namakannya dengan “filsafat pertama”. Adapun mengenai istilah “metafisika” yang secara harfiah berarti “sesuatu yang ada setelah alam” mengacu kepada benda-benda alam atau indrawi yang menjadi sesuatu yang pertama kali kita ketahui, adapun jika kita kaji secara esensi ilmu ini lebih tepat jika di katakan sebagai “apa yang ada sebelum alam”[2][2].
Aristoteles mengatakan “ada suatu pengetahuan yang menyelidiki yang ada sejauh ada” yang berarti menyelidiki kenyataan seluruhnya dalam artian objek yang paling luas menurut aspek yang paling umum (yakni, sejauh yang ada). Maka dengan demikian metafisika berarti berbeda misalnya dengan ilmu kedokteran yang mempelajari realitas saja (kesehatan tubuh), juga berbeda dengan fisika dan matematika yang hanya mempelajari satu aspek dari realitas yakni gerak dan kuantitas. Metafisika bagi Aristoteles adalah pengetahuan yang menelaah kenyataan seluruhnya sejauh “yang ada”. Adapun istilah metafisika itu sendiri bukanlah berasal dari Aristoteles melainkan dari seorang pengikutnya Nikolaus dari Damaskus (1 SM), sedangkan Aristoteles sendiri menyebutnya pengetahuan tentang segala yang ada ini dengan “filsafat pertama”, karna baginya ilmu ini merupakan pengetahuan yang mendasari segala pemikiran teoritis[3][3]. Dalam sejarah filsafat, metafisika atau “filsafat pertama” Aristoteles ini dinamakan juga dengan “ontologi” yang berarti ajaran tentang “yang sungguh-sungguh ada”.
Singkatnya metafisika adalah apa yang tak dapat disentuh oleh panca indra tapi bukan tidak mungkin untuk di ketahui[4][4]. Ada beberapa pengertian tentang Metafisika yang di bahas dalam kamus filsafat diantaranya sebagai berikut :
a. Metafisika adalah studi tentang yang ada sebagaimana yang ada tetapi yg dimaksudkan “yang ada” disini bukanlah yang ada dalam bentuk keberadaan partikular (barang, objek dll).
b. Studi tentang dasar (prinsip, alasan, sumber, sebab) eksistensi segala sesuatu yang memiliki dasar.
c.       Studi tentang semua yang bersifat Rohani (ghaib, supernatural)[5][5]dll.

Metafisika dalam Dunia Islam
            Pemikiran metafisis yang ada dalam dunia Islam pada awalnya merupakan produk pemikiran Yunani yang di gagas oleh Aristoteles, oleh karna itulah umat muslim memerlukan banyak teks-teks primer yang sudah berupa terjemahan maupun sumber-sumber lain yang juga memperbincangkannya, seperti rangkuman dan parafrasa-parafrasa yang di susun oleh Alexander Aprhodisias dan Themistius banyak di minati oleh pemikir muslim dalam pembahasan kajian metafisika ini.
            Karya lain yang juga ikut menjadi perhatian pemikir muslim adalah teks-teks Neoplatoniik, akan tetapi pengaruh pemikiran yang tertuang di dalamnya tidak terlalu mendalam dalam komunitas pemikir muslim. Selain itu ada juga karya Plotinus yang berjudul The Theology of Aristotle, dan sejumlah proposisi dari Elements of Theology karya Proclus juga di konsumsi oleh para pemikir muslim demi memperdalam pemahaman tentang metafisika yang di gagas Aristoteles. Demikianlah karya-karya para pemikir Yunani dan Hellenistik di bahas dengan mendalam di dunia muslim sekalipun menggunakan istilah yang berbeda dari konsep yang menjadi objek pembahasannya[6][6]. Yang menarik disini pemberian istilah yang berbeda dari objek yang di bahas terkadang membawa makna-makna baru yang sering sekali melekat dalam karya-karya yang di gagas, karna jauhnya jarak yang hadir dengan saat ini dengan teks-teks primer yang ada jauh beberapa abad sebelumnya. Maka dengan demikian tradisi Islam secara tak langsung telah memiliki konsep metafisikanya sendiri yang terlepas dari makna subjektif teks primer yang di gagas jauh sebelumnya meskipun kemiripan umum terhadap gagasan awal tak dapat di lepaskan secara utuh. Pertanyaannya, istilah apakah yang di gunakan para pemikir muslim dalam menyebut pengetahuan yang baru ini?
            Dalam literatur bahasa Arab, metafisika sering disebut dengan bermacam-macam ungkapan, seperti ma’ba’d al-thabi’ah (sesuatu yang berada setelah alam), al-falsafah al ula (filsafat pertama), illahiyat (teologi, ketuhanan) atau bahkan hikmah (kebijaksanaan). Selain dari hikmah istilah-istilah yang disebut di atas merupakan suatu upaya penyepadanan yang di lakukan para filosof muslim dengan model pengistilahan yang Yunani ketimbang mengunakan ketetapan yang berasal dari mereka sendiri. Oleh karna itulah dalam hal ini Al Kindi menjelaskan bahwa filsafat pertama di namakan demikian karna ia merupakan ilmu tentang realitas pertama yang merupakan sebab dari semua realitas serta pengetahuan tentang sesuatu yang berada di luar alam, yakni sesuatu yang Immaterial[7][7]. Terlepas dari pada perbedaan istilah harfiah, umumnya para filosof muslim yang ikut membahas tentang metafisika ini hampir memiliki kesamaan dalam pemaknaan dari pada pengetahuan ini yang cenderung mengarah kepada hal yang menyangkut ketuhanan beserta hubungannya dengan segala sebab yang maujud.
Tokoh lain yang juga ikut membahas tentang metafisika adalah Al-Farabi, ia memandang bahwa metafisika merupakan suatu ilmu yang mempelajari eksiden-eksiden (maujud-maujud) dengan sudut pandang yang berbeda dengan filsafat alam, yakni mengenai studinya tentang benda-benda langit yang menurut al Farabi bukan termasuk bagian dari filsafat alam, karna baginya benda langit tersebut hanya berkaitan dengan wujud-wujud yang tercantum dalam sepuluh kategori. al Farabi memandang terdapat wujud lain yang berada di luar kategori-kategori (benda langit) ini seperti intelek aktif atau sesuatu yang memberikan geraknya pada benda-benda langit, maka dari itulah al Farabi memandang bahwa membahas kajian tentang wujud ini secara lebih konferehensif sangat penting ketimbang mempelajari filsafat alam, yang pengetahuan wujud ini menggambarkan pencapaian dan tujuan tertinggii manusia yaitu metafisika[8][8].
Lain al-Kindi lain pula al-Farabi begitu pula penerus mereka berdua setelahnya yaitu Ibnu Sina. Ibnu Sina menamakan ilmu metafisika dengan Illahiyat (ketuhanan/teologi) yang berarti mengkaji segala sesuatu yang terpisah dari materi, sebab pertama dari wujud-wujud alami serta sebab dari segala sebab dan prinsip dari segala prinsip, yaitu Tuhan. Ibnu Sina membagi ilmu metafisika ini menjadi beberapa bagian: pertama, tentang sebab-sebab tertinggi, yaitu sebab dari segala wujud yang bersebab. Kedua, tentang sebab pertama, yang darinya setiap wujud yang bersebab beremanasi. Ketiga, tentang sifat-sifat wujud. Keempat, tentang prinsip-prinsip dari ilmu-ilmu khusus. Ilmu ini layak medapat sebutan “filsafat pertama” karna metafisika merupakan suatu ilmu tentang yang pertama dalam wujud, yaitu, sebab pertama, serta sebagai ilmu tentang yang pertama dalam generalitas (keinklusifan), yakni Wujud dan Kesatuan. Adapun yang menjadi subjek sebenarnya filsafat pertama atau ilahiyah atau metafisika disini adalah dunia sesuatu yang ilahiyah dan terpisah, yakni benda-benda langit seperti yang dikatakan al-Farabi serta sebab-sebab ataupun prinsip-prinsip benda benda tersebut seperti apa yang coba di lukiskan oleh Ibnu Sina[9][9].




[1][1] Simon. Petrus .L Cahyadi., Petualangan Intelektual., PENERBIT KANISIUS, Yogyakarta, 2004., hal: 65
[2][2] Sayyed. Husein. Nasr., Ensiklopedi Tematis Filasafat Islam., hal: 1093
[3][3] Simon. Petrus .L Cahyadi., Petualangan Intelektual., PENERBIT KANISIUS, Yogyakarta, 2004., hal: 65
[4][4] Lorents. Bagus., Kamus Filsafat., PT. Gramedia Pustaka Utama., Hal : 623-624
[5][5] Ibid.
[6][6] Sayyed. Husein. Nasr., Ensiklopedi Tematis Filasafat Islam., hal: 1090
[7][7] Sayyed. Husein. Nasr., Ensiklopedi Tematis Filasafat Islam.,  hal: 1091
[8][8] Ibid., hal: 1092
[9][9] Sayyed. Husein. Nasr., Ensiklopedi Tematis Filasafat Islam.,  hal: 1093-1095

0 komentar:

Posting Komentar

Cute Purple Pencil