Jumat, 04 Oktober 2013

Hubungan Agama dan Sains

Perjalanan sains pertama di mulai dari tanah Yunani diawali dengan adanya bentuk spekulasi dari pemikiran yang berkembang di sana, yang kemungkinsn besar merupakan induk bagi sains modern yang ada saat ini. Gejolak dan ragam pertentangan timbul seiring dengan pengkajian yang dilakukan kaum filosof yang ada di Yunani tentang alam,
penemuan akan hal baru yang berbeda sekaligus berlawanan dengan sistem kepercayaan ketika itu mewarnai perjalanan sains tersebut, yakni pertentangan antara sistem kepercayaan mistis dengan sistem filsafat yang berkarakteristik rasional-empiris.
Thales sosok pemikir ketika itu mengawalinya dengan mengeluarkan pernyataan tentang sebab pertama bagi kebeadaan alam ini yaitu air, segala sesuatu di awali oleh zat cair dan akan kembali kepada zat air pada akhirnya. Pemikiran yang baru tersebut tentu saja membuat guncangan hebat ketika itu seiring dengan membudi-dayanya kepercayaan mitologis terhadap masyarakat. Masyarakat yang semula meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam merupakan sebuah aktivitas yang di lakukan para dewa, gerhana, pelangi ataupun gempa bumi, yang umumnya selalu dihubungkan dengan kekuatan-kekuatan yang hadir di alam, di ajak untuk berfikir rasional oleh Thales.
Pemikiran Thales sekilas memang sangat sederhana, akan tetapi telah mengubah sebagian besar pola fikir masyarakat Yunani dari yang bercorak mitosentris menjadi logosentris. Hingga akhirnya, pemikiran yang sederhana tersebut membawa Yunani kepada suatu sistem baru yang di dasari atas pemikiran dan pengkajian untuk mendapatkan kebenaran. Perubahan pola fikir tadi bukan tidak luput dari pada gejolak yang ada, banyak benturan yang timbul antar para tokoh tradisionalis Yunani dengan para filosof yang ada ketika itu [1].
Lain halnya dengan sains yang ada dalam Islam, pertentangan antara sains dan agama ini tidaklah begitu tajam. Hadirnya ilmu-ilmu Yunani ke dunia Islam tidak memunculkan gejolak yang besar dari masyarakat muslim sendiri, hal ini mungkin di sebabkan oleh beberapa faktor, pertama, kaum muslim saat itu tidak terikat pada pola hidup tertentu yang dilandasi oleh karakteristik budayanya maupun kebiasaan yang dilakukan, pasalnya sains datang setelah Arab mengalami elaborasi yang cukup besar dengan datangnya agama Islam. Kedua, pelopor Islam sendiri yang di agungkan ketika itu menganjurkan untuk mengadakan kajian maupun penelitian tentang sains itu sendiri agar menjadi pelajaran berharga (ikhtibar dalam bahasa Arab) bagi orang yang berakal, sebagai bukti keberadan Yang Transendental. Ketiga, adanya dukungan dari pemerintah yang ada, sebagai bukti adanya kegiatan penerjemahan dan pengembangan berbagai disiplin keilmuan, karna itulah, tak heran jika dalam komunitas muslim terdapat orang-orang yang ahli dalam bidang agama serta ahli dalam bidang sains, seperti fisika, kimia, matematika maupun kedokteran [2], sebagai hasil dari pada dukungan yang ada ketika itu, maka tak ayal jika Islam pernah memasuki masa keemasannya di bidang pengetahuan mengungguli daerah lain pada masanya, yang berada diluar otoritas kekuasaanya.

Sains dalam Tradisi Barat dan Problematikanya

Perjalanan sains di Barat di mulai sejak renaisans akan tetapi benih-benihnya telah ada sejak abad ke 15. sejak abad pertama Masehi hingga abad ke 14 yang lebih menonjol di Barat adalah agama dan kekuasaan yang berada di bawah kendali otoritas gereja yang ada di abad tersebut. Ajaran gereja merupakan hukum mutlak yang membentuk struktur budaya maupun pola fikir Masyarakat Barat ketika itu, yang juga meliputi bidang pengetahuan. Sehingga tradisi ilmiah yang sebenarnya tidak baku dan statis menjadi hal yang sakral dan tak dapat berubah.
Renaisans merupakan titik awal dari peradaban Barat baru atau mungkin dapat di katakan sebagai pemberontakan kaum ilmuan dan pemikir (filosof) terhadap otoritas gereja yang dianggap telah membuat kemunduran bagi pengetahuan, oleh karna itulah zaman di Barat sebelum zaman pencerahan di katakan dengan Drak Ages atau abad kegelapan. Akan tetapi benih-benih sains sendiri telah ada sejak abad ke 15 seperti sistem heliosentris yang masih berupa hipotesis dari penelitian Covernicus.
Penemuan Copernicus (1473-1543) merupakan cikal-bikal kelahiran sains di Barat maupun renaisans itu sendiri yang puncaknya berada di tangan sang jenius Newton dan rasionalitas yang di kumandangkan Descrates. Teorinya yang membuktikan bahwa pusat dari pada jagad raya adalah matahari bukan bumi mengawali pemikiran sains yang ada di Barat. Teori Covernicus yang dahulu hanya sebagai hipotesis mulai di kembangkan pada masa-masa setelahnya selain itu teorinya juga di jadikan landasan oleh tokoh yang datang setelahnya seperti Galileo (1546-1642), tokoh yang telah menjadikan hipotesis Covernicus dapat di terima secara umum oleh para ilmuan, selain itu ia juga merupakan sosok pertama yang memadukan percobaan ilmiah dengan bahasa matematika untuk merumuskan hukum-hukum alam yang di temukannya seperti hukum gerak jatuh dan hukum bintang jatuh [3].
Saintis lain yang juga menjadi pilar penyangga sains modern adalah Johanes Kepler (1571-1662) yang menurut S.H. Nasr merupakan orang pertama yang mengganti teologi langit skolatisme dengan fisika langit dengan merumuskan hukum-hukum empiris tentang gerak planet. Selain itu, Farancis Bacon (1561-1626) juga mengambil bagian dari pilar tersebut, Bacon merumuskan tentang metode eksperimental dalam metode keilmuan, dengan menjadikan metode induksi-empiristik sebagai satu-satunya metode ilmiah yang sah dalam pengembangan ilmu. Hingga akhirnya Seluruh prestasi dan karya ilmiah yang telah di capai oleh tokoh-tokoh di muka seperti: Covernicus, Kepler, Galileo dan Bacon berhasil di ulas dengan gemilang oleh si jenius Newton [4]. Dalam bukunya Principia ia berhasil menyokong sistem Covernicus, menjelaskan dengan lugas hukum-hukum gerak planet Kepler serta memperluas karya Galileo tentang gerak. Selain itu ia juga seorang yang mencoba menggabungkan rasionalitas Descratess dengan empirisme Bacon agar dapat di aktualisasikan kedalam kehidupan nyata dengan meletakkan dasar-dasar mekanika [5]. yang membuat Newton di kenal sebagai bapak pembangun sains modern dalam tradisi Barat.
Tokoh lain yang juga memiliki perang sentral dalam membentuk pradaban Barat adalah Descrates (1596-1650). Pengaruh pemikirannya tentang rasionalitas banyak mendominasi penelitian filsafat yang ada di Barat termasuk Newton [6]. Paradigma Descrates dan Newton-lah yang umumnya di jadikan titik awal yang membentuk pradaban Barat Modern. Adapun tradisi sains Barat Modern di bangun secara utuh oleh Newton sekalipun benih dari pemikiran sains itu sendiri telah ada sejak abad ke 15. Pandangan kedua tokoh ini-lah (Descrates dan Newton) yang memiliki andil besar dalam membentuk peradaban maupun pemikiran masyarakat Barat baik dari seai pengetahuan maupun mentalitas [7]yang mengakar pada masyarakat Barat Modern saat ini. Pasalnya, kedua tokoh itu-lah yang memiliki pengaruh signifikan atas terbangunnya peradaban di Barat baik pemikiran maupun sains. oleh karna itulah Descrates di kenal dalam sejarah Barat sebagai bapak rasionalis sedangkan Newton di kenal dengan bapak pembangun sains modern.

Problematika Klasik antara Sains dan Agama di Barat

Benih dari pemikiran saintis telah ada sejak abad ke 15, yaitu tentang sistem heliosentris Covernicus, yang di kemukakan-nya hanya sebagai hipotesis, hal itu di sebabkan Covernicus menyadari bahwa teori heliosentris tentang bumi yang hanya merupakan bagian dari sekian banyak planet yang mengelilingi sebuah bintang kecil di langit sangat bertentangan dengan pandangan ptolemeus dan gereja yang telah di terima masyarakat sebagai dogma selama lebih dari seribu tahun, maka dari itu-lah untuk meredam reaksi keras kaum gerejawan ia mengajukan teori heliosentrisnya hanya sebagai hipotesis belaka [8], sehingga pertentangan antara sains dan agama pada masa tersebut tidak terlalu tajam. dengan adanya  penelitian Covernicus inilah maka secara tak langsung telah terdapat revolusi ilmiah yang menentang dogma gereja yang mengikuti masyarakat Barat hampir lebih dari seribu tahun lamanya.
Revolusi Ilmiah ini terus berlanjut dengan diiringi pertentangan oleh gereja, hingga tiba saatnya sains bertemu dengan pemikiran rasionalitas Descrates yang kemudian berjalan bersamaan dengan sains, sehingga keduanya seakan saling melengkapi dan menjadi suatu paradigma yang kuat untuk menggeser tradisi lama yang telah mencokol dalam pradaban Barat. Renaisains merupakan zaman di mana pertentangan antara agama dan sains menajam, masa di mana masyarakat Barat mencari jati dirinya yang baru. Saat itu-lah filsafat dan sains menjadi semangat (Zeitgaist) bagi Renaisans, yang seyogyanya merupakan suatu refleksi pemberontakan pengetahuan terhadap ortodoksi dogma gereja dan sebuah produk lanjut dari pada pemikiran ilmiah yang di kumandangkan sebelumnya oleh Nicolas Covernicus, Galileo, Bacon, Keplers dan Descrates yang di adopsi oleh Newton (1642) dan tokoh-tokoh lainnya.
Newton mencoba untuk menggabungkan sistem rasionalis Descrates dengan sistem Empirisme Bacon, meskipun sekilas sistem yang digunakan kedua tokoh berbeda, Bacon dengan emperismenya sedangkan Descrates dengan rasionalitasnya, namun, menurut Berman kedua Sosok tersebut lebih tepat jika di pandang saling melengkapi, karna, empirisme Bacon membutuhkan matematika dalam metode keilmuannya sedangkan rasionalitas Descrates memerlukan eksperimen empiris sebagai pembuktian pemikirannya.sehingga tampak seakan-akan keduanya saling komplementer (melengkapi) satu sama lain [9], pemikiran tokoh-tokoh ini-lah abad ke 15 dan 16 yang seyogyanya merupakan zeitgaist (semangat) bagi masyarakat Barat untuk mendapatkan pencerahan dalam setiap hal dan karna penentangan dari gereja terus mengikuti, maka secara tak langsung pengetahuan mencoba melepaskan dirinya dari kekangan agama dengan semangat pencerahan yang di tujukan kepada dogma ortodok gereja yang menghambat laju dari pengetahuan.
Dengan begitu semangat ilmiah yang mendapat banyak dukungan dan semangat yang kuat terus mengeksiskan keberadaannya dengan berjalan bersebrangan dengan ortodoksi gereja. Pertentangan memuncak sejak renaisans (kelahiran kembali) bergema kencang dalam tradisi Barat, yang di tandai dengan adanya revolusi ilmiah, revolusi industri, teknologi super, yang banyak di minati masyarakat Barat yang merasa mendapatkan pencerahan ketika itu. Masa-masa ini-lah di mana agama di Barat kian redup cahayanya bahkan hampir tidak terlihat lagi, dan sains serta pemikiran yang terlepas dari payung agama terus membumi dalam pradaban Barat Modern yang baik secara langsung maupun tak langsung merombak mentalitas masyarakatnya sedikit demi sedikit.
Perubahan terhadap mentalitas ini-lah yang merupakan titik awal kelahiran sekularisasi, sebagai repleksi dari berontaknya pengetahuan melalui para ilmuan yang tak mau tunduk dengan otoritas gereja. Menurut Harun Nasution, penemuan sains di Barat tidaklah dapat di harmoniskan dengan dogma Kristen. Akibatnya pemikiran dan sains terlepas dari ikatan agama, dengan begitu berkembanglah filsafat dan sains yang sekuler yang ada di Barat [10], Dalam artian para pemikir dan saintis banyak mengemukakan hal-hal yang notabene bertentangan dengan dogma ortodoks gereja yang ketika itu di rasakan mengekang sekaligus mematikan laju pengetahuan.
Selain itu, timbulnya rasionalisme menambah problamatika yang ada dengan membuat jurang antara sains dan agama semakin menganga, dalam hal ini Harun Nasution berpendapat bahwa ketika itu rasionalisme mencoba untuk melepaskan dirinya dari keterikatan terhadap apapun sehingga memnyebabkan banyaknya pemikiran baru yang timbul sebagai dampak kebebasannya, hedonisme yang berada di Yunani timbul kembali dengan wujudnya yang baru yakni sebagai utilitarianisme yang berfaham bahwa mencari kesenangan material sebanyak mungkin merupakan prisnsip hidup yang seakan harus diletakan sejajar dengan prinsip-prinsip etik, dalam artian prinsip kebahagiaan material menjadi kesadaran fundamental yang harus di yakini seseorang.
Masyarakat ketika itu mulai mengartikan kebahagian dengan mendapatkan kesenangan sebanyak-banyaknya dalam hidup. Kebahagian yang notabene merupakan suatu nilai etik berganti dengan nilai-nilai yang bersifat material yang secara tak langsung mengatakan bahwa segala hal memiliki nilai jual termasuk cinta contohnya, maka pudarlah nilai yang absolut tergilas dengan roda nilai yang bersifat relatif.
Pertentangan yang membuat jarak yang jauh tersebut membuat sains di kembangkan demi sains dan akal di gunakan untuk mengukuhkan kepentingan individual tanpa mengindahkan baik dan buruknya bagi masyarakat., karna masalah moral baik dan buruk masyarakat adalah wilayah kaum agamawan dan moralis yang bertanggung jawab dalam masalah nilai moral dan etik, padahal kaum moralis dan kaum agamawan dapat dikatakan telah redup pengaruhnya dalam budaya Barat Modern atau kehilangan cahaya, karna sains lebih di gundrungi oleh masyarakat yang seakan-akan membawa angin segar dan kesejukan maupun pencerahan bagi pengetahuan. maka, kala waktu yang demikianlah agama di Barat tidak lagi di gundrungi, di remehkan serta banyak di tinggalkan pengikutnya maka tak ayal banyak para saintis yang atheis (tak beagama). Maka dari sini-lah Renaisans secara tidak langsung merupakan titik balik dari peradaban Barat klasik, yang dengan demikian peradaban dan tradisi ilmiah yang semula berada di bawah dogma teologi langit beralih kepada fisika langit.dan subjektifitas manusia, yang menciptakan sebuah tradisi baru yang di kenal dengan istilah Barat Modern atau dalam istilah industri, lebih populer di kenal dengan predikat Negara maju.
Pertentangan antara sains dan agama di Barat baru berakhir ketika agama mengakui bahwa sains tidak memiliki hubungan dengan agama. Adapun alasan mengapa kedua bidang ini tidak bersinggungan adalah karna sains hanya menjelajah dunia realitas dan karna alasan itulah hanya realitas-lah yang dapat di pelajari secara ilmiah, selain itu sains lebih cenderung berhubungan dengan fakta-fakta dan agama berhubungan dengan makna-makna, jika sains mencoba menjawab suatu pertanyaan “bagaimana’ sedangkan agama menjawab pernyataan “mengapa”, sains berkaitan dengan kausa efesien sedangkan agama berhubungan dengan kausa final [11]. Untuk alasan inilah sains di kembangkan demi sains dan agama di pisahkan dari orbit pengetahuan tentang alam maka dengan begitu agama sama sekali tidak memiliki hubungan dengan sains dalam tradisi barat modern. Agama di Barat kembali setelah timbul ideology tentang metafisika baru serta lahirnya fisika baru yang di istilahkan dengan fisika Quantum yang di tandai dengan munculnya formulasi teori gravitasi oleh Enstien.

Daftar Pustaka
   
Bakhtiar. Dr. Amsal, MA., Filsafat Agama., Logos Wacana Ilmu, 
Ciputat, 1999.

Heriyanto.Husein., Paradigma Holistik (Dialog Filsafat, Sains dan 
Kehidupan menurut Shadra dan Whitehead)., Penerbit TERAJU, Jakarta, 2003.

Hardiman. F. Budi., Filsafat Modern., PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004. 

Guiderdoni. Bruno., Membaca Alam Membaca Ayat., PT. Mizan Pustaka, 
Agustus 2004.


0 komentar:

Posting Komentar

Cute Purple Pencil