Istilah
Tasawuf biasanya dikatakan untuk menyebut kehidupan mistik yang berkembang
dalam Islam, oleh karna itulah untuk mendekati maknanya, kita harus bertanya
apa sebenarnya yang dimaksud dengan mistik itu sendiri? karna dalam kata
mistik tersebut bisa terkandung banyak makna, yang tak dapat dicapai
dengan cara-cara yang biasa atau dengan kegiatan intelektual.
Mistik awalnya memang berasal dari kata Yunani yaitu “myein” yang berarti “menutup mata”. Mistik ini cenderung dikaitkan dengan arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama[1] termasuk juga agama Islam yaitu tasawuf, “sufisme”merupakan nama yang biasanya dipergunakan untuk menyebut mistik yang terdapat dalam Islam.
Mistik awalnya memang berasal dari kata Yunani yaitu “myein” yang berarti “menutup mata”. Mistik ini cenderung dikaitkan dengan arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama[1] termasuk juga agama Islam yaitu tasawuf, “sufisme”merupakan nama yang biasanya dipergunakan untuk menyebut mistik yang terdapat dalam Islam.
Sebelum kita memasuki lebih jauh tentang sufisme yang ada dalam Islam perlu kiranya kita mengetahui pengertian dari metodelogi sufi yang berupa tasawuf dan sekilas tentang sumber asalnya. Ada beberapa pengertian tasawuf secara etimologi, ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu domba, ada juga yang mengkaitkannya dengan kelompok “ashabi shuffah” yaitu segolongan orang yang duduk disekeliling Ka.bah untuk beribadah. Sedangkan mengenai maknanya secara terminologi, para sufi sendiri memiliki cara tersendiri untuk mengartikannya. Tetapi ada karakteristik yang khas dari setiap pendefinisian tentang tasawuf dari kaum sufi yaitu bahwa tasawuf merupakan latihan kerohanian dengan cara melakukan serangkaian ibadah semata-mata taat kepada Allah, dengan demikian tasawuf berarti identik dengan ketaqwaan[2].
Secara historis, kaum muslimin telah mengenal tradisi mistik
sejak zaman Nabi jauh sebelum mengenyam falsafah Yunani, hal ini terbukti
dengan keberadaan orang yang miskin dan shaleh yang hidup di masjid Madinah(ahli
Suffah), orang tersebut dinisbatkan kepada para sahabat Nabi yang mengedepankan
ibadah seperti Abu dzar al-Ghifari (655 M) dan Salman al-Farisi seorang tukang
cukur Parsi yang di bawa keluarga Nabi dan menjadi contoh bagi adopsi rohani
dan pembaitan mistik. Tokoh lain yang juga di kaitkan dengan adanya ajaran
mistis Nabi adalah Uways al-Qarani yang menurut orang Turki ia ibarat veysi meshreb yang berarti seseorang
yang telah mendapatkan pencerahan jiwa di luar jalan yang biasa (tanpa adanya
Syeikh), tradisi ini yang banyak di-nisbahkan atas perkataan Muhammad yang
terkenal yaitu, “Nafas ar Rahman datang padaku dari Yaman” yang dalam syair
para sufi berarti bimbingan ilahi[3], selain itu kisah isr’a dan mi’raj-nya Nabi juga menjadi
salah satu contoh adanya tradisi mistik yang kental yang mengakar pada ajaran
Islam, di mana tradisi tersebut terkadang di katakan dengan tasawuf dan
terkadang disebut juga dengan spiritual Islam yang banyak di gunakan Prof. Dr.
Mulyadhi Kartanegara dalam beberapa karyanya. Oleh karna itulah sisi mistisme
ataupun spiritualisme tidak dapat di lepaskan dari perjalanan ilmu-ilmu
keIslaman
Dari lingkungan kecil para shaleh yang ada di sekeliling
Nabi inilah, muncul suatu patokan yang sering di pakai oleh para sufi yaitu:
islam, iman dan ihsan[4]. Perjalanan tasawuf setelahnya, di lambangkan oleh kepala
keluarga bagi sufi yaitu Hasan Basri (728M) yang memandang bahwa terdapat
banyak perbuatan yang cenderung berlebihan dalam ke-duniawian yang terjadi pada
masa bani Umaiyah dan masyarakat ketika itu yang lebih cenderung kepada
penaklukan dan pengumpulan kekayaan duniawi sehingga membuat sang tokoh
antipati terhadap pemerintah ketika itu serta memilih kehidupan Zuhud yang
diajarkannya kepada para muridnya. Singkatnya, kehidupan zuhud ini terus di
lestarikan oleh para tokoh sufi yang hidup setelahnya seperti Rabi’ah al
Adawiyah dan Dzunun al Mishri dan berlanjut terus hingga saat ini dengan
berbentuk tarikat-tarikat yang muktabarah.
Dengan demikian maka ajaran maupun praktek ke-sufian
telah di lakukan sejak zaman Nabi, oleh karna itulah secara tak langsung ajaran
tentang tasawuf telah diajarkan oleh Nabi sendiri dalam bentuknya yang paling
dasar, yang kelak mengiringi perjalanan pengetahuan yang ada dalam Islam
meskipun dengan cara yang unik dan di luar nalar rasional.
Seiring dengan perjalan pengetahuan dalam Islam yang pada
akhirnya memiliki sistem tesendiri, begitu pula halnya dengan tradisi mistis
yang ada di dalamnya, yang lambat laun juga memiliki dasar tersendiri, yang
umumnya para sufi menyandarkan pondasi dasarnya kepada Tuhan yang menurut
mereka adalah kebenaran hakiki, karna bagi mereka, Tuhan adalah satu-satunya
yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang mutlak, yang membuat sesuatu
selainnya bersifat nisbi atau majasi, bagi para sufi Tuhan adalah suatu prinsip
yang menyeluruh dan paripurna. Esensi dari pada sistem mistisme yang di
gaungkan para sufi adalah peasaan dekat dengan tuhan dan cinta, perasaan dekat
bagi para sufi merupakan kehadiran-Nya di manapun ia berada, yang di rasakan
oleh para sufi baik di dalam dirinya maupun di alam yang mengelilinginya.
Kehadiran dan kedekatan ini di latar-belakangi langsung dari al-Quran begitu
juga dengan sistem cinta[5].
Adapun persoalan yang akan kita bahas pada hari adalah
tentang bagaimana tradisi mistis yang terdapat dalam Islam mengambil bagian
dari pada epistemologi Islam? Padahal cara yang di gunakan berada di luar nalar
rasional seperti apa yang penulis sebutkan sebelumnya. Untuk itulah jika kita
membincangkan epistemologi berarti membicarakan tentang pengetahuan, sebab itu
sebelum kita memulai penjelajahan lebih lanjut tentang epistemologi Islam yaitu
Intuisi yang sering di gunakan para sufi untuk mencapai suatu kebenaran, maka
ada kiranya kita mengkaji tentang ilmu pengetahuan itu sendiri terlebih dahulu.
Pengetahuan, kata dasarnya adalah ‘tahu’, yang mendapatkan
awalan dan akhiran pe dan an. Imbuhan ‘pe-an’ berarti menunjukan
adanaya suatu proses, yang menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti
proses mengetahui, yang kemudian menghasilkan sesuatu yang di sebut
pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu yang keberadaannya tak dapat di tolak
manusia, keberadaan tersebut di awali dari kecenderungan psikis manusia sebagai
bawaan lahir manusia itu sendiri, yang berupa dorongan ingin tahu yang salah satunya bersumber dari kehendak atau kemauan.
Kehendak merupakan salah satu unsur kejiwaan, sedangkan sumber lainnya adalah akal pikiran (ratio) dan perasaan (emotion). Ketiga unsure tersebut pada
dasarnya berada pada satu kesatuan, yang secara tak langsung saling
mempengaruhi satu sama lain sesuai dengan situasi dan keadaan, artinya, dalam
keadaan tertentu yang berbeda-beda pikiran, perasaan dan keinginan menjadi hal
yang paling dominan aktif, dengan demikian sebagai konekuensinya, ada
pengetahuan yang timbul berdasarkan akal (logika), perasaaan (estetika) dan
pengetahuan yang di dasari oleh pengalaman (etika)[6]. Tasawuf yang sedang kita kaji di
sini merupakan salah satu jenis pengetahuan yang bersumber dari intuisi.
Intuisi merupakan gerak hati yang paling dalam, yang
bersifat spriritual yang melampaui batas ketinggian akal pikiran, selain itu
intuisi juga merupakan kedalaman dari suatu pengalaman. Pengetahuan yang
bersumber dari intuisi merupakan suatu pengalaman batin yang bersifat langsung[7], yang dalam pemahaman al-Farabi,
mendapatkan pengetahuan tanpa melalui sentuhan pengindraan dan olahan akal
pikiran. Kebenaran yang di dapatkan secara intuitif disini tidak dapat di uji
baik menurut pengalaman indrawi maupun akal pikiran, karna pada dasarnya
intuisi bersifat khusus yang berada pada tatanan personal.
Lalu, apakah sebenarnya yang di maksud oleh objek
pengetahuan itu sendiri secara umum? Menurut Webster, seperti apa yang di tulis
Suparlan dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan, ada beberapa penekanan yang
terdapat pada suatu objek, seperti apa yang dapat di lihat, di sentuh, dan di
indra; sesuatu yang dapat di sadari secara fisis atau mental; suatu tujuan
akhir dari suatu usaha; serta suatu hal yang menjadi masalah yang inti bagi suatu
penyelidikan.
Dari sini dapat di pahami bahwa sebenarnya yang di maksud
objek adalah sasaran pokok atau tujuan dari penyelidikan keilmuan. Objek di
sini bisa berupa benda-benda material maupun non-material, bisa juga berupa
konsep-konsep, ide-ide dan sebagainya. Singkatnya objek pengetahuan merupakan
suatu substansi yang di dalamnya terkandung segi-segi yang bergada,
berjenis-jenis dan bertingkat-tingkat dari tatanan yang konkrit hingga ke yang
abstrak, untuk itulah perlu adanya pembatasan dengan mempertimbangkan pada
keterbatasan akal manusia dengan menentukan jenis objek dan titik pandang yang
kemudian akan menjelma menjadi objek materi tertentu. objek pengetahuan
cenderung berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan sifatnya inilah yang pada
akhirnya memunculkan adanya pengkajian materi yang berupa hal-hal yang fisis
yang jika tergolong dari segi pandang termasuk pada kategori ilmu pengetahuan
Fisika, ada juga yang kajian materinya berupa hal-hal non-fisis, seperti
manusia dan masyarakat, yang kemudian tergolong dalam pengetahuan sosial, serta
ada juga yang secara khusus mengangkat objek materi agama (hal-ihwal tentang
ketuhanan), yang kemudian tergolong kedalam ilmu pengetahuan keagamaan atau
teologi[8].
Intuisi menjadi bagian dari epistemologi Islam karna pada
dasarnya Nabi sendiri memperoleh pengetahuannya secara mistis, kedua,
ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits yang mendukung kebenaran
yang bersifat spriritual, ketiga, pada dasarnya kebenaran akan semakin serupa
dengan sumber kebenaran itu sendiri jika berada lebih dekat kepada kebenaran
itu sendiri. Dalam Islam kebenaran yang sejati atau yang hakiki semata-mata
adalah Tuhan, para sufi adalah orang yang berusaha untuk mefokuskan dirinya
hanya pada kebenaran yang sejati yaitu Tuhan itu sendiri dan tidak terjebak
dalam dimensi interpertasi yang terkadang memiliki pengaruh fisis tertentu bagi
orang-orang yang terlibat di dalamnya, sehingga mempengaruhi sisi fundamental
dari orang itu sendiri yaitu kejiwaanya, sedangkan sufi adalah orang yang
melakukan penyucian jiwa dengan cara melakukan amalan-amalan rutin maupun
mencoba untuk tidak berpaling kepada hal lain selain ketaatan kepadanya,
sehingga secara tak langsung membuat mereka berdekatan dengan Tuhan itu sendiri
yang merupakan sumber dari kebenaran hal tersebut di dukung dengan prilakunya
maka amatlah tidak mungkin seorang sufi tidak mengetahui tentang hal-hal etik
padahal dia telah mengaktualisasikan etika itu sendiri dalam kehidupannya.
Keempat, jika kecenderungan mistis dicoret dalam tatanan
keislaman, maka menurut hemat saya adalah akan berakibat fatal, karna pada
dasarnya apa yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama Islam umumnya selalu
mengarah kepada hal-hal yang abstrak terlebih menyangkut prihal ketuhanan
maupun menjadikan Tuhan sebagai kebenaran sejati. Maka dalam hal ini runtuhnya
dunia para sufi sama saja meruntuhkan fondasi fundamental yang ada dalam
pengetahuan Islam, karna dengan begitu Islam akan kehilangan nilai-nilai
substansial yang terkandung dalam ajaran-ajarannya yang banyak tercermin dalam
pribadi maupun ajaran para sufi dan filosof . Jika hal ini terjadi maka
pengetahuan dalam Islam akan menjadi pengetahuan yang bebas nilai.
Singkatnya, tidak ada satupun kebenaran yang di dapatkan
oleh manusia memiliki kepastian benar, karna jika itu terjadi berarti telah ada
pemalsuan kebenaran, yang artinya menusia mencoba melahirkan kebenaran dari
kebenaran, sebagai akibat dari penginterpertasian sehingga lupa akan wujud yang
sebenarnya, pada tahapan itulah kebenaran akan semakin jauh dari sumbernya
sehingga membuat pantulannya menjadi tak serupa, yang secara tak langsung
menghilangkan kebenaran yang sesungguhnya berganti dengan kebenaran
interpertasi. Dalam hal ini al-Farabi menuturkan bahwa “plato lebih memilih
simbol-simbol dan misteri-misteri dalam karya-karyanya, karna ia meyakini bahwa
ilmu dan hikmah tidak sepatutnya di perlihatkan kecuali kepada orang yang
berhak dan mampu memahaminya melalui pencarian, pengkajian dan penggalian[9], begitu juga Muhammad yang lebih
memilih estetika dalam ajaran yang di gagasnya, bukan karna tak dapat
memberikan argumentasi (hemat penulis).
Para sufi melakukan tahapan rekontruksi dengan kembali
kepada sumber kebenaran, karna hanya dengan begitu kebenaran yang sesungguhnya
akan terbuka, bukan akibat dari aksiden-aksiden yang tampak, maupun pengaruh
dari interpertasi yang ada bahkan mereka menjaga diri dari hal yang demikian,
akan tetapi karna konsep pensucian jiwa yang digagas Muhammad sebelumnya, yang
di utus untuk menyempurnakan akhlak dan memperbaiki akidah, melalui serangkaian
ibadah dalam artian Muhammad lebih memilih mengajarkan pengertian-pengertian
praktis dengan nasehat-nasehatnya ketimbang memberikan konsep-konsep yang belum
tentu dapat di jangkau orang-orang umum. Dalam hal ini intuisi menjadi bagian
dari epistemologi Islam dalam kategori khusus yang di nisbahkan kepada orang
yang khusus juga. Kita tidak bisa melegitimasi benar atau buruknya kecuali
bertentangan dari ajaran yang pokok yang sudah memiliki kepastian hukumnya
dalam al-Quran dan Hadits.
[1]
Annemarie, Schimmel., Dimensi Mistik
dalam Islam., (Pustaka Firdaus,1986), hal: 1-2
[2]
Muhammad, Zaki Ibrahim., Tasawuf Salafi.,
(Penerbit Hikmah, 1989), hal: 5
[3]
Annemarie, Schimmel., Dimensi Mistik
dalam Islam., (Pustaka Firdaus,1986), hal: 27-28
[4]
Annemarie, Schimmel., Dimensi Mistik
dalam Islam., (Pustaka Firdaus,1986), hal: 27
[5]
Mulyadi. Kartanegara., Menyelami Lubuk
Tasawuf., (Penerbit Erlangga, Ciracas, 2006)., hal: 23-24
[6]Suparlan.
Suhartono. Ph. D., Filsafat Ilmu
Pengetahuan., (Ar-Ruzz Media, 2005)., hal: 48-49
[7] Suparlan. Suhartono. Ph. D., Filsafat Ilmu Pengetahuan., (Ar-Ruzz Media, 2005)., hal: 54
[8] Suparlan. Suhartono. Ph. D., Filsafat Ilmu Pengetahuan., (Ar-Ruzz Media, 2005)., hal: 68-70
[9]
Ali Harb. Kritik Kebenaran., (LKiS,
Yogyakarta, 1995)., hal: 12
0 komentar:
Posting Komentar