Rabu, 25 September 2013

Pengertian Tasawuf


            Istilah Tasawuf biasanya dikatakan untuk menyebut kehidupan mistik yang berkembang dalam Islam, oleh karna itulah untuk mendekati maknanya, kita harus bertanya apa sebenarnya yang dimaksud dengan mistik itu sendiri? karna dalam kata mistik tersebut bisa terkandung banyak makna, yang tak dapat dicapai dengan cara-cara yang biasa atau dengan kegiatan intelektual.
Mistik awalnya memang berasal dari kata Yunani yaitu “myein” yang berarti “menutup mata”. Mistik ini cenderung dikaitkan dengan arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama[1] termasuk juga agama Islam yaitu tasawuf, “sufisme”merupakan nama yang biasanya dipergunakan untuk menyebut mistik yang terdapat dalam Islam.


            Sebelum kita memasuki lebih jauh tentang sufisme yang ada dalam Islam perlu kiranya kita mengetahui pengertian dari metodelogi sufi yang berupa tasawuf dan sekilas tentang sumber asalnya. Ada beberapa pengertian tasawuf secara etimologi, ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “shuf” yang berarti bulu domba, ada juga yang mengkaitkannya dengan kelompok “ashabi shuffah” yaitu segolongan orang yang duduk disekeliling Ka.bah untuk beribadah. Sedangkan mengenai maknanya secara terminologi, para sufi sendiri memiliki cara tersendiri untuk mengartikannya. Tetapi ada karakteristik yang khas dari setiap pendefinisian tentang tasawuf dari kaum sufi yaitu bahwa tasawuf merupakan latihan kerohanian dengan cara melakukan serangkaian ibadah semata-mata taat kepada Allah, dengan demikian tasawuf berarti identik dengan ketaqwaan[2].
Secara historis, kaum muslimin telah mengenal tradisi mistik sejak zaman Nabi jauh sebelum mengenyam falsafah Yunani, hal ini terbukti dengan keberadaan orang yang miskin dan shaleh yang hidup di masjid Madinah(ahli Suffah), orang tersebut dinisbatkan kepada para sahabat Nabi yang mengedepankan ibadah seperti Abu dzar al-Ghifari (655 M) dan Salman al-Farisi seorang tukang cukur Parsi yang di bawa keluarga Nabi dan menjadi contoh bagi adopsi rohani dan pembaitan mistik. Tokoh lain yang juga di kaitkan dengan adanya ajaran mistis Nabi adalah Uways al-Qarani yang menurut orang Turki ia ibarat veysi meshreb yang berarti seseorang yang telah mendapatkan pencerahan jiwa di luar jalan yang biasa (tanpa adanya Syeikh), tradisi ini yang banyak di-nisbahkan atas perkataan Muhammad yang terkenal yaitu, “Nafas ar Rahman datang padaku dari Yaman” yang dalam syair para sufi berarti  bimbingan ilahi[3], selain itu kisah isr’a dan mi’raj-nya Nabi juga menjadi salah satu contoh adanya tradisi mistik yang kental yang mengakar pada ajaran Islam, di mana tradisi tersebut terkadang di katakan dengan tasawuf dan terkadang disebut juga dengan spiritual Islam yang banyak di gunakan Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara dalam beberapa karyanya. Oleh karna itulah sisi mistisme ataupun spiritualisme tidak dapat di lepaskan dari perjalanan ilmu-ilmu keIslaman
Dari lingkungan kecil para shaleh yang ada di sekeliling Nabi inilah, muncul suatu patokan yang sering di pakai oleh para sufi yaitu: islam, iman dan ihsan[4]. Perjalanan tasawuf setelahnya, di lambangkan oleh kepala keluarga bagi sufi yaitu Hasan Basri (728M) yang memandang bahwa terdapat banyak perbuatan yang cenderung berlebihan dalam ke-duniawian yang terjadi pada masa bani Umaiyah dan masyarakat ketika itu yang lebih cenderung kepada penaklukan dan pengumpulan kekayaan duniawi sehingga membuat sang tokoh antipati terhadap pemerintah ketika itu serta memilih kehidupan Zuhud yang diajarkannya kepada para muridnya. Singkatnya, kehidupan zuhud ini terus di lestarikan oleh para tokoh sufi yang hidup setelahnya seperti Rabi’ah al Adawiyah dan  Dzunun al Mishri dan berlanjut terus hingga saat ini dengan berbentuk tarikat-tarikat yang muktabarah.
 Dengan demikian maka ajaran maupun praktek ke-sufian telah di lakukan sejak zaman Nabi, oleh karna itulah secara tak langsung ajaran tentang tasawuf telah diajarkan oleh Nabi sendiri dalam bentuknya yang paling dasar, yang kelak mengiringi perjalanan pengetahuan yang ada dalam Islam meskipun dengan cara yang unik dan di luar nalar rasional.
Seiring dengan perjalan pengetahuan dalam Islam yang pada akhirnya memiliki sistem tesendiri, begitu pula halnya dengan tradisi mistis yang ada di dalamnya, yang lambat laun juga memiliki dasar tersendiri, yang umumnya para sufi menyandarkan pondasi dasarnya kepada Tuhan yang menurut mereka adalah kebenaran hakiki, karna bagi mereka, Tuhan adalah satu-satunya yang ada dalam arti yang sesungguhnya, yang mutlak, yang membuat sesuatu selainnya bersifat nisbi atau majasi, bagi para sufi Tuhan adalah suatu prinsip yang menyeluruh dan paripurna. Esensi dari pada sistem mistisme yang di gaungkan para sufi adalah peasaan dekat dengan tuhan dan cinta, perasaan dekat bagi para sufi merupakan kehadiran-Nya di manapun ia berada, yang di rasakan oleh para sufi baik di dalam dirinya maupun di alam yang mengelilinginya. Kehadiran dan kedekatan ini di latar-belakangi langsung dari al-Quran begitu juga dengan sistem cinta[5].
Adapun persoalan yang akan kita bahas pada hari adalah tentang bagaimana tradisi mistis yang terdapat dalam Islam mengambil bagian dari pada epistemologi Islam? Padahal cara yang di gunakan berada di luar nalar rasional seperti apa yang penulis sebutkan sebelumnya. Untuk itulah jika kita membincangkan epistemologi berarti membicarakan tentang pengetahuan, sebab itu sebelum kita memulai penjelajahan lebih lanjut tentang epistemologi Islam yaitu Intuisi yang sering di gunakan para sufi untuk mencapai suatu kebenaran, maka ada kiranya kita mengkaji tentang ilmu pengetahuan itu sendiri terlebih dahulu.
Pengetahuan, kata dasarnya adalah ‘tahu’, yang mendapatkan awalan dan akhiran pe dan an. Imbuhan ‘pe-an’ berarti menunjukan adanaya suatu proses, yang menurut susunan perkataannya, pengetahuan berarti proses mengetahui, yang kemudian menghasilkan sesuatu yang di sebut pengetahuan. Pengetahuan adalah sesuatu yang keberadaannya tak dapat di tolak manusia, keberadaan tersebut di awali dari kecenderungan psikis manusia sebagai bawaan lahir manusia itu sendiri, yang berupa dorongan ingin tahu yang salah satunya bersumber dari kehendak atau kemauan. Kehendak merupakan salah satu unsur kejiwaan, sedangkan sumber lainnya adalah akal pikiran (ratio) dan perasaan (emotion). Ketiga unsure tersebut pada dasarnya berada pada satu kesatuan, yang secara tak langsung saling mempengaruhi satu sama lain sesuai dengan situasi dan keadaan, artinya, dalam keadaan tertentu yang berbeda-beda pikiran, perasaan dan keinginan menjadi hal yang paling dominan aktif, dengan demikian sebagai konekuensinya, ada pengetahuan yang timbul berdasarkan akal (logika), perasaaan (estetika) dan pengetahuan yang di dasari oleh pengalaman (etika)[6]. Tasawuf yang sedang kita kaji di sini merupakan salah satu jenis pengetahuan yang bersumber dari intuisi.
Intuisi merupakan gerak hati yang paling dalam, yang bersifat spriritual yang melampaui batas ketinggian akal pikiran, selain itu intuisi juga merupakan kedalaman dari suatu pengalaman. Pengetahuan yang bersumber dari intuisi merupakan suatu pengalaman batin yang bersifat langsung[7], yang dalam pemahaman al-Farabi, mendapatkan pengetahuan tanpa melalui sentuhan pengindraan dan olahan akal pikiran. Kebenaran yang di dapatkan secara intuitif disini tidak dapat di uji baik menurut pengalaman indrawi maupun akal pikiran, karna pada dasarnya intuisi bersifat khusus yang berada pada tatanan personal.
Lalu, apakah sebenarnya yang di maksud oleh objek pengetahuan itu sendiri secara umum? Menurut Webster, seperti apa yang di tulis Suparlan dalam buku Filsafat Ilmu Pengetahuan, ada beberapa penekanan yang terdapat pada suatu objek, seperti apa yang dapat di lihat, di sentuh, dan di indra; sesuatu yang dapat di sadari secara fisis atau mental; suatu tujuan akhir dari suatu usaha; serta suatu hal yang menjadi masalah yang inti bagi suatu penyelidikan.
Dari sini dapat di pahami bahwa sebenarnya yang di maksud objek adalah sasaran pokok atau tujuan dari penyelidikan keilmuan. Objek di sini bisa berupa benda-benda material maupun non-material, bisa juga berupa konsep-konsep, ide-ide dan sebagainya. Singkatnya objek pengetahuan merupakan suatu substansi yang di dalamnya terkandung segi-segi yang bergada, berjenis-jenis dan bertingkat-tingkat dari tatanan yang konkrit hingga ke yang abstrak, untuk itulah perlu adanya pembatasan dengan mempertimbangkan pada keterbatasan akal manusia dengan menentukan jenis objek dan titik pandang yang kemudian akan menjelma menjadi objek materi tertentu. objek pengetahuan cenderung berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan sifatnya inilah yang pada akhirnya memunculkan adanya pengkajian materi yang berupa hal-hal yang fisis yang jika tergolong dari segi pandang termasuk pada kategori ilmu pengetahuan Fisika, ada juga yang kajian materinya berupa hal-hal non-fisis, seperti manusia dan masyarakat, yang kemudian tergolong dalam pengetahuan sosial, serta ada juga yang secara khusus mengangkat objek materi agama (hal-ihwal tentang ketuhanan), yang kemudian tergolong kedalam ilmu pengetahuan keagamaan atau teologi[8].
Intuisi menjadi bagian dari epistemologi Islam karna pada dasarnya Nabi sendiri memperoleh pengetahuannya secara mistis, kedua, ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits yang mendukung kebenaran yang bersifat spriritual, ketiga, pada dasarnya kebenaran akan semakin serupa dengan sumber kebenaran itu sendiri jika berada lebih dekat kepada kebenaran itu sendiri. Dalam Islam kebenaran yang sejati atau yang hakiki semata-mata adalah Tuhan, para sufi adalah orang yang berusaha untuk mefokuskan dirinya hanya pada kebenaran yang sejati yaitu Tuhan itu sendiri dan tidak terjebak dalam dimensi interpertasi yang terkadang memiliki pengaruh fisis tertentu bagi orang-orang yang terlibat di dalamnya, sehingga mempengaruhi sisi fundamental dari orang itu sendiri yaitu kejiwaanya, sedangkan sufi adalah orang yang melakukan penyucian jiwa dengan cara melakukan amalan-amalan rutin maupun mencoba untuk tidak berpaling kepada hal lain selain ketaatan kepadanya, sehingga secara tak langsung membuat mereka berdekatan dengan Tuhan itu sendiri yang merupakan sumber dari kebenaran hal tersebut di dukung dengan prilakunya maka amatlah tidak mungkin seorang sufi tidak mengetahui tentang hal-hal etik padahal dia telah mengaktualisasikan etika itu sendiri dalam kehidupannya.
Keempat, jika kecenderungan mistis dicoret dalam tatanan keislaman, maka menurut hemat saya adalah akan berakibat fatal, karna pada dasarnya apa yang terdapat dalam ajaran-ajaran agama Islam umumnya selalu mengarah kepada hal-hal yang abstrak terlebih menyangkut prihal ketuhanan maupun menjadikan Tuhan sebagai kebenaran sejati. Maka dalam hal ini runtuhnya dunia para sufi sama saja meruntuhkan fondasi fundamental yang ada dalam pengetahuan Islam, karna dengan begitu Islam akan kehilangan nilai-nilai substansial yang terkandung dalam ajaran-ajarannya yang banyak tercermin dalam pribadi maupun ajaran para sufi dan filosof . Jika hal ini terjadi maka pengetahuan dalam Islam akan menjadi pengetahuan yang bebas nilai.
Singkatnya, tidak ada satupun kebenaran yang di dapatkan oleh manusia memiliki kepastian benar, karna jika itu terjadi berarti telah ada pemalsuan kebenaran, yang artinya menusia mencoba melahirkan kebenaran dari kebenaran, sebagai akibat dari penginterpertasian sehingga lupa akan wujud yang sebenarnya, pada tahapan itulah kebenaran akan semakin jauh dari sumbernya sehingga membuat pantulannya menjadi tak serupa, yang secara tak langsung menghilangkan kebenaran yang sesungguhnya berganti dengan kebenaran interpertasi. Dalam hal ini al-Farabi menuturkan bahwa “plato lebih memilih simbol-simbol dan misteri-misteri dalam karya-karyanya, karna ia meyakini bahwa ilmu dan hikmah tidak sepatutnya di perlihatkan kecuali kepada orang yang berhak dan mampu memahaminya melalui pencarian, pengkajian dan penggalian[9], begitu juga Muhammad yang lebih memilih estetika dalam ajaran yang di gagasnya, bukan karna tak dapat memberikan argumentasi (hemat penulis).
Para sufi melakukan tahapan rekontruksi dengan kembali kepada sumber kebenaran, karna hanya dengan begitu kebenaran yang sesungguhnya akan terbuka, bukan akibat dari aksiden-aksiden yang tampak, maupun pengaruh dari interpertasi yang ada bahkan mereka menjaga diri dari hal yang demikian, akan tetapi karna konsep pensucian jiwa yang digagas Muhammad sebelumnya, yang di utus untuk menyempurnakan akhlak dan memperbaiki akidah, melalui serangkaian ibadah dalam artian Muhammad lebih memilih mengajarkan pengertian-pengertian praktis dengan nasehat-nasehatnya ketimbang memberikan konsep-konsep yang belum tentu dapat di jangkau orang-orang umum. Dalam hal ini intuisi menjadi bagian dari epistemologi Islam dalam kategori khusus yang di nisbahkan kepada orang yang khusus juga. Kita tidak bisa melegitimasi benar atau buruknya kecuali bertentangan dari ajaran yang pokok yang sudah memiliki kepastian hukumnya dalam al-Quran dan Hadits.



[1] Annemarie, Schimmel., Dimensi Mistik dalam Islam., (Pustaka Firdaus,1986), hal: 1-2
[2] Muhammad, Zaki Ibrahim., Tasawuf Salafi., (Penerbit Hikmah, 1989), hal: 5
[3] Annemarie, Schimmel., Dimensi Mistik dalam Islam., (Pustaka Firdaus,1986), hal: 27-28
[4] Annemarie, Schimmel., Dimensi Mistik dalam Islam., (Pustaka Firdaus,1986), hal: 27
[5] Mulyadi. Kartanegara., Menyelami Lubuk Tasawuf., (Penerbit Erlangga, Ciracas, 2006)., hal: 23-24
[6]Suparlan. Suhartono. Ph. D., Filsafat Ilmu Pengetahuan., (Ar-Ruzz Media, 2005)., hal: 48-49
[7] Suparlan. Suhartono. Ph. D., Filsafat Ilmu Pengetahuan., (Ar-Ruzz Media, 2005)., hal: 54
[8] Suparlan. Suhartono. Ph. D., Filsafat Ilmu Pengetahuan., (Ar-Ruzz Media, 2005)., hal: 68-70
[9] Ali Harb. Kritik Kebenaran., (LKiS, Yogyakarta, 1995)., hal: 12




0 komentar:

Posting Komentar

Cute Purple Pencil